Jumat, 26 Desember 2008

THEOKRASI TIDAK MENJAMIN KESELAMATAN UMAT MANUSIA


 


 

Account    illumination


 

Sebagian dari kita saat ini sedih, susah, kecewa, frustasi, marah, dan tidak mempunyai perasaan-perasaan negatif lainnya ketika berhadapan dengan situasi negara dan bangsa yang makin kacau balau, dilanda krisis yang kompleks, dan selalu mengalami bencana. Banyak orang-orang telah menyakiti diri sendiri, keluarga, orang lain demi mengejar pemuasan nafsu dan kebencian mereka sendiri, karena telah ditutupi ketidaktahuan (kebodohan) yang dibungkus dengan khayalan-khayalan duniawi.

Teinspirasi kebangkitan-kebangkitan para suci, nabi, dan guru besar masa lalu lewat ajaran-ajaran yang turun temurun dalam agama kita masing-masing, sebagian dari kita beranggapan bahwa situasi ini harus diubah dengan membangun tatanan baru, yang berasal dari doktrin ajaran-ajaran agama yang kita yakini sesuai dengan kedalaman pemahaman kita masing-masing. Sayangnya, di negara ini banyak orang yang mempunyai jalan yang berbeda-beda dan mengikutinya dengan pemahaman yang berbeda-beda kedalamannya dan kepentingannya, jika ide ini dilaksanakan, satu negara ini pasti terpecah belah menjadi banyak negara-negara kecil. Jika negara kecil ini hidup nantinya, belum tentu bisa berdaulat seperti halnya negara besar yang kuat dan kaya. Belum lagi, rakyatnya pasti mengalami banyak kesusahan dan penderitaan, karena otomatis akan kehilangan keluarganya, harta bendanya, pekerjaannya, bisnisnya, dan kebebasannya, karena di negara yang baru, para pemimpinnya membuat, melaksanakan, dan mengadili orang-orang lebih kejam lagi, karena mereka tidak mentolerir keyakinan sekelompok minoritas yang berbeda, kecuali ada sekelompok pemimpin yang berpengaruh kuat melindungi dan menjaganya, tergantung kadar kepentingannya.

Apakah perlakuan penguasa bisa lebih adil kepada rakyatnya yang homogen? Belum tentu, keadilan berada di tangan para penguasa religius, pendeta atau imam atau kepala ulama tertinggi, raja atau kaisar yang menjadi dewa hidup atau wakil Tuhan, atau dewan tetua pemuka agama. Pihak penguasa juga punya keterbatasan untuk menangani masalah-masalah, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan tuntas dalam hukum agama, biasanya dengan menjaga kepentingannya maka keluar agama itu didesain untuk menjaga dan memelihara keberlangsungan kekuasaan mereka tanpa memperhitungkan kesalahan-kesalahan atau kegagalan mereka. Jadi, mereka mengkomunikasikan diri sebagai sosok sempurna walaupun kenyataannya mereka hanyalah manusia biasa. Atau mereka mengkomunikasikan diri sebagai penjaga kebenaran sejati yang menurut mereka sendiri paling benar (berarti yang lainnya salah semua).jika ada orang atau pihak lain yang menentang mereka, tentu mereka pasti akan dikucilkan, disingkirkan, disiksa, dipenjara, atau dibunuh agar tidak mempengaruhi rakyat untuk mengikuti sikapnya.

Jika pemerintah yang menguasai negara itu bisa menjalankan tugasnya menurut prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan yang universal, maka pemerintah yang theokratis ini hampir berhasil membuat rakyatnya hidup lebih baik. Namun, biasanya mereka lemah dalam pertahanan terhadap ancaman serangan bangsa atau negara lain yang lebih agresif. Prinsip kemanusiaan yang naif sangat dijunjung tinggi oleh bangsa itu, sehingga tidak memperkenankan pemerintahnya memperkuat pertahanan militernya, ekonomi, sosial, dan budayanya. Pemerintahan semacam itu pasti akan mudah dikuasai atau dihancurkan bangsa atau negara lain yang lebih licik, lebih kuat, dan lebih kejam.

Bahkan pemerintahan yang paling kuat pertahanannya di segala bidang tidak juga terjamin kelangsungannya jika oknum-oknum dalam pemerintahan itu mulai korup dan menjalankan politiknya sendiri demi kepentingannya. Ini dapat menimbulkan pengkhianatan yang sangat dahsyat daya merusaknya daripada perang besar atau bencana alam.

Bila pemerintah gagal mempertahankan hidupnya, maka rakyat pasti hidup dalam kekacauan. Tidak ada yang memimpin mereka, dan orang-orang pasti saling menyakiti sesamanya demi kelangsungan kehidupan mereka. Negaranya terpecah belah menjadi negara-negara yang lebih kecil, lebih lemah, dan gampang dikendalikan negara-negara yang kuat.

Satu gambaran yang sangat tragis, bahwa ternyata sejak jaman Mesir kuno, sistem theokrasi menempatkan Pharaoh sebagai penguasa tertinggi yang dijunjung para pendetanya tumbuh menguat di atas penderitaan rakyat. Hal yang sama terjadi dengan sistem kapitalisme murni yang menempatkan uang di puncak tertinggi di bawah para penguasanya yang diperkuat oleh para pemuka agama, para prajurit, dan pemodalnya menindas rakyat kecil habis-habisan. Jadi, sebenarnya praktek menyimpang dari para pendeta atau pemuka agama sebagai pendukung pemerintah yang menjalankan sistem ekonomi model demikian yang menyebabkan kesengsaraan dan kekacauan rakyat. Jika pikiran mereka dimotivasi penumpukan kekayaan semata dengan menggunakan tameng religius itulah yang harus ditentang, bukan ajaran agamanya. Karena setiap agama dari manapun asal atau waktu timbulnya pada hakikatnya tidak membenarkan orang menindas, menyakiti, bahkan membunuh sesamanya, dengan memaksa orang bekerja keras dengan bayaran sedikit demi melangsungkan hidup mewah para boss.

Kamis, 11 Desember 2008

K A R M A


 


 

Account    illumination


 

                    Oleh: M.C.


 

Anggaplah bersama-sama saya bahwa hidup seseorang ialah suatu tali yang membentang dari Keabadian sampai ke Keabadian, dan tidak mempunyai ujung pangkal dan tiada permulaan, tali itu juga tidak dapat diputuskan.

Tali ini dibentuk dari benang-benang halus yang amat banyak, yang terjalin sangat rapat, membentuk ketebalannya.

Benang-benang ini tidak berwarna, sempurna dalam kualitasnya, dilihat dari kelurusan, kekuatan, dan ratanya permukaan benang itu.

Tali ini, melalui sebagaimana layaknya melintasi semua tempat-tempat, menderita insiden yang ganjil.

Selembar benang seringkali tertangkap dan menjadi tersangkut, atau barangkali hanya tertarik keluar secara paksa dari keselarasannya.

Kemudian, untuk suatu waktu yang lama dia menjadi kusut dan dia mengacaukan semuanya.

Kadang-kadang seseorang ternoda dengan kotoran atau warna, dan bukan saja noda itu merambat lebih jauh dari tempat yang ternoda itu, tetapi dia melunturkan benang-benang lainnya.

Dan ingatlah bahwa benang-benang itu hidup - seperti kawat listrik, terlebih lagi, seperti urat-urat saraf yang bergetar.

Lalu, berapa jauhkah noda itu menyebar, bilur miring itu harus diberitahukan!

Tetapi akhirnya tali yang panjang itu, benda-benda yang hidup di dalam hubungan yang sambung menyambung itu membentuk sang individu, melintasi bayang-bayangan ke dalam cahaya.

Kemudian benang-benang itu tidak transparan lagi, tetapi berwarna keemasan, sekali lagi benang-benang itu terletak bersama-sama, rata.

Sekali lagi harmoni telah didirikan di antara mereka; dan dari harmoni yang berada di dalamnya; harmoni yang lebih besar lagi dapat dirasakan.

Contoh ini menunjukkan suatu bagian kecil saja – suatu segi tunggal dari sang kebenaran itu; yaitu lebih kurang dari sebuah kutipan/fragmen.

Namun, renungkanlah padanya, oleh bantuannya anda dapat dituntun untuk merasakan lebih banyak lagi.

Yang perlu pertama-tama untuk mengerti adalah bukannya masa depan itu sekehendak hati dibentuk oleh perbuatan-perbuatan terpisah dari masa kini, tetapi bahwa keseluruhan dari masa depan itu di dalam hubungan yang kontinyu dengan masa kini, sebagaimana masa kini dengan masa lampau.

Pada satu tahapan/alam, dari satu sudut pandang, contoh tali ini benar.

Telah dikatakan ahwa suatu perhatian sedikit terhadap Kebatinan mmenghasilkan akibat-akibat karma yang besar.

Ini disebabkan adalah tidak mungkin untuk memberikan setiap perhatian terhadap Kebatinan tanpa membuat suatu pilihan pasti antara yang biasanya disebut baik dan buruk itu.

Langkah pertama dalam Kebatinan membawa sang siswa itu pada pohon dari pengetahuan.

Ia harus memetik dan makan, ia harus memilih. Tiada lagi ia arif terhadap kebimbangan dari kebodohan batin (ketidaktahuan) itu.

Ia pergi terus, baik pada sang jalan kebaikan atau pada jalan kejahatan. Dan untuk melangkahkan kaki secara pasti dan dengan sengaja bahkan hanya satu langkah pada salah satu jalan menghasilkan akibat-akibat karma agung.

Sejumlah besar manusia berjalan ragu-ragu, tidak pasti: seraya mereka itu menuju pada tujuannya; ukuran hidup mereka tidak pasti; karenanya karma mereka berjalan di dalam suatu cara yang kacau.

Tetapi bilamana sekali ambang pintu dari pengetahuan telah dicapai, kekacauan itu mulai berkurang dan akibatnya buah-buah karma bertambah membesar, sebab semuanya sedang berproses pada arah yang sama pada semua tingkat-tingkat/alam-alam yang berbeda itu, untuk praktisi kebatinan tidak dapat setengah hati, juga ia tak dapat kembali bilamana ia telah melewati ambang pintu itu.

Hal-hal ini tidak mungkin seperti halnya seseoarang harus menjadi anak kecil.

Kepribadian telah mendekati keadaan pertanggungjawaban yang disebabkan pertumbuhan; itu tidak dapat ditarik kembali dari situ.

Dia yang ingin lepas dari ikatan karma harus meningkatkan kepribadiannya keluar dari bayang-bayangan ke dalam cahaya, harus demikian mengangkat kehidupannya sehingga benang-benang ini tidak terkena kekotoran/ noda-noda benda duniawi, tidak menjadi demikian terikat sehingga ditarik miring.

Ia hanya mengangkat dirinya sendiri keluar dari daerah di dalam di mana sang karma itu bekerja.

Ia tidak meninggalkan kehidupan yang sedang dialaminya disebabkan hal itu. Tanah itu boleh jadi kasar dan kotor, atau penuh dengan bunga-bunga subur di mana tepung sarinya bernoda, dan dari benda-benda yang manis, yang melekat, dan menjadi terikat – tetapi di atas kepala selalu terdapat angkasa bebas.

Ia yang ingin menjadi tanpa karma harus melihat pada hawa udara untuk tempat tinggal dan setelah itu pada ether.

Ia yang ingin membentuk karma baik akan bertemu dengan banyak kekacauan dan di dalam usaha menaburkan biji subur untuk penuaiannya sendiri akan menanam seribu rumput-rumput, dan di antaranya rumput raksasa.

Inginkanlah untuk menabur bukan biji untuk penuaian anda sendiri; inginkanlah hanya menabur biji itu buah mana akan memberi makan pada dunia.

Anda adalah sebagian dari dunia di dalam memberikannya makanan anda memberi makan pada anda sendiri.

Namun di dalam hanya pikiran ini, di situ mengintai suatu bahaya besar yang mulai maju ke depan dan menghadap sang murid yang untuk sekian lamanya telah memikirkan dirinya sendiri bekerja untuk kebaikan, sementara di dalam jiwanya yang paling dalam itu ia telah merasakan hanya kejahata; bahwa ia telah memikirkan dirinya sendiri untuk bermaksud menjadi berguna besar terhadap dunia, sementara ia teus menerus secara tak sadar telah memeluk pikiran dari karma itu; dan keuntungan besar yang ia lakukan adalah untuk dirinya sendiri.

Seseorang dapat menolak untuk membiarkan dirinya sendiri untuk memikirkan tentang imbalan. Tetapi di dalam penolakan itupun telah terlihat fakta bahwa imbalan telah diinginkan.

Dan adalah percuma untuk sang siswa untuk berusaha belajar dengan perantaraan meneliti dirinya sendiri.

Sang jiwa harus terlepas dari kungkungan keinginan bebas. Tetapi hingga mereka menetap hanya pada keadaan itu di dalam di mana di situ tiada imbalan tiada hukuman, baik atau jahat adalah sia-sia yang diusahakannya.

Ia boleh jadi kelihatannya membuat kemajuan besar, tetapi pada suatu hari ia akan datang berhadapan muka dengan jiwanya sendiri, dan akan mengenal kembali bahwa ketika ia datang pada sang pohon pengetahuan itu ia memilih buah yang pahit dan bukan buah yang manis, dan kemudian tabir itu akan jatuh sama sekali, dan ia akan menyerahkan kemerdekaannya dan menjadi seorang budak dari sang keinginan.

Sebab itu berhati-hatilah, anda yang hanya berbelok menuju pada kehidupan daripada Kebatinan.

Pelajarilah sekarang bahwa tiada obat untuk keinginan, tiada obat untuk kecintaan terhadap imbalan, tiada obat untuk kesedihan dari kerinduan, terkecuali di dalam menetapkan dari penglihatan dan pendengaran terhadap itu yang tak tertampak dan tak bersuara.

Mulailah bahkan sekarang untuk mempraktekannya, dan dengan demikian seribu ular akan dihindarkan dari jalan anda.hiduplah dalam keabadian.

Berlakunya dari hukum-hukum karma sebenarnya tidak dapat dipelajari sehingga sampai sang siswa itu telah mencapai titik di mana mereka tiada lagi mempengaruhi dirinya sendiri.

Seorang yang telah mendapatkan diksa (pentahbisan/inisiasi) mempunyai hak untuk menuntut rahasia-rahasia dari alam untuk mengetahui aturan-aturan yang memerintah kehidupan manusia.

Ia mendapatkan hak ini dengan terlepas dari batas-batas dari alam dan oleh pembebasan dirinya sendiri dari aturan-aturan yang memerintah kehidupan manusia.

Ia telah menjadi suatu bagian yang dikenal dari unsur Ilahi dan tiada lagi terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sementara itu.

Sebab itulah, anda yang menginginkan untuk mengerti hukum-hukum dari karma usahakanlah pertama-tama untuk membebaskan anda sendiri dari hukum-hukum ini; dan ini hanya dapat dilakukan dengan menetapkan perhatian anda kepada apa-apa yang tidak terpengaruh hukum-hukum itu.


 

            (Light on the Path)


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.7 tahun ke I (1970)

BAGAIMANAKAH ORANG BISA MENDAPAT SELAMAT?


 


 

Account    illumination


 

SELAMAT itu bukan barang – bukan benda, bukan suatu bentuk atau corak yang dapat dibuat, dibeli, atau dicari.

Selamat itu "buah" atau hasil, atau akibat dari ketenangan batin manusia.

Manusia tidak bebas dari menghadapi segala macam kejadian, berbagai peristiwa dan mengalami rupa-rupa pengalaman yang dianggap enak atau tidak enak, senang atau tidak senang. Tapi bagi orang yang tenang dan tenteram batinnya, - semuanya itu tidak akan menggoncangkan hatinya, tidak membuat orang itu lupa daratan. Inilah suatu keselamatan.

Masing-masing orang mengharap dirinya bebas dari segala malapetaka, jauh dari segala gangguan dan godaan, terhindar dari semua yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Pada waktu-waktu tertentu memang harapan orang yang demikian tadi dapat tercapai. Tapi, karena tidak semua orang karmanya serupa, maka satu sama lain berbeda yang dialaminya. Dan meskipun bagaimanapun adanya perbedaan itu, asal saja batinnya mempunyai ketenangan dan ketentraman, maka kesemuanya itu dapat disambut dengan selamat.

Pada pokoknya orang sepatutnya mempunyai pengertian lebih dahulu. Pengertian itu mendatangkan rasa maupun sikap yang diam. Arti diam ini bukan orang yang tidak bekerja, orang yang tidak berjalan dan bergerak kaki tangannya. Bukan demikian apa yang dimaksudkan dengan diam itu.

Diam itu ialah pikirannya yang tidak memikirkan rumit-rumit, artinya lapang, lega, tidak terikat dengan apapun, tidak tergantung dengan kepercayaan-kepercayaan yang mencengkeramnya. Hasil daripada diam ini mendatangkan kesadaran. Kesadaran ini titik tolaknya keselamatan.

Banyak orang sudah menjadi salah mengerti mengenai "selamat" yang dicarinya.

Misalnya orang yang mempunyai "pengawal-pengawal" (bodyguard) , dia merasa terjamin keselamatannya. Tapi dia lupa, bahwa keselamatan yang sejati bukan badan raga terjaga oleh pengawal-pengawal itu (orang lain), melainkan dari nasibnya sendiri.

Seorang raja atau presiden misalnya, yang terluput dari sasaran penembakan yang ditujukan kepadanya, itu bukan sebab dia mempunyai pengawal yang sekian banyak melainkan nasibnya tidak mengijinkan dia mendapatkan bahaya. Oleh karena itu, sasaran-sasaran maut yang diarahkan kepadanya selalu meleset.

Jadi, menurut analisa yang benar yang membuat orang itu "selamat" atau "tidak selamat" bukan pengawal, bukan penjagaan orang lain, bukan jimat-jimat yang dibawanya, melainkan nasibnya sendiri tidak memolehkan dia menemukan celaka.

Nah, sekarang di sini kita menemukan nasib. Bagaimana nasib yang selamat itu?

Nasib itu pun "buah" yang disebutkan di atas tadi.

Bagaimana membentuknya nasib yang selamat itu, sehingga dapat bebas dari malapetaka yang dahsyat?

Mula-mula semua dari pengertian orang itu. Karena pengertiannya, orang itu mempunyai kesadaran. Dan sebab kesadarannya maka dia menjadi orang yang baik.

Kalau orang itu orang yang baik, maka dengan sendirinya nasibnya pun baik.

Orang tidak bisa menjadi orang yang baik tanpa pengertian yang baik.

Orang yang baik itu bikan orang yang tidak pernah berbuat jahat kepada orang lain. Orang yang baik itu ialah orang yang dapat berbuat baik kepada orang lain.

Tidak berbuat jahat kepada orang lain termasuk baik, tapi kebaikannya seperti "mati". Kebaikan yang "hidup" ialah kebaikan yang bergerak, berusaha, bekerja untuk orang lain, selain untuk dirinya sendiri.

Kebaikan itu bersifat "aktif". Oleh karena itu kebaikan bukan menjadi kebaikan yang sejati jika hanya "tidak berbuat apa-apa".

Dalam masyarakat kita terdapat banyak orang yang kebaikannya pasif. Tidak berbuat jahat, tapi tidak mau berbuat baik kepada sesamanya. Jadi baiknya masih bersifat "ke-aku-an". Ditinjau dari sudut pengertian yang benar, kebaikan begitu belum termasuk kebaikan yang dapat mendatangkan keselamatan.

Jika kita meneliti cara hidup orang-orang yang ada di sekeliling kita, ada banyak sekali yang bergantung dengan "aku"-nya, tapi selalu minta selamat, selamat, dan selamat. Apalagi kalau ada "apa-apa" yang dapat dimintai selamat, entah itu orang yang bergerak, entah itu bentuk ibadah, entah itu pemakaman kuno dan sebagainya, - permintaannya untuk keselamatan dirinya berulang-ulang diajukan, bahkan tanpa batas.

Marilah kita bayangkan sejenak bukankah perbuatan manusia yang demikian tadi menunjukkan kelemahan batinnya sendiri? Selain demikian, juga perbuatan minta-minta selamat dengan cara begitu bukan pada tempatnya, salah tafsirannya, keliru cara berpikirnya.

Insyaflah bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjelmakan masing-masing makhluknya sudah penuh dengan keselamatan.

Tapi karena makhlukNya itu tidak menuruti jalan Ketuhanan, melainkan menentangNya, maka bukan selamat yang diperoleh, melainkan sebaliknya, siapakah yang salah? Diri sendiri, bukan? Maka, agar manusia selamat dan selalu dalam lingkungan keselamatan, orang perlu mempunyai pengertian yang menggiring ke arah keselamatan itu.

Orang yang mengerti, memupuk hati baik (liang sim – Hokkian) atau dengan kata lain: budi. Budi ini menunjuk pada perjalanan hidup yang benar dan bajik, bersih dan jujur. Dia aktif untuk membuat kebaikan, pengabdian, sehingga hubungan manis di antara sesamanya diperhatikan dan dilaksanakannya. Orang yang demikian inilah orang yang baik dan pasti dengan sendirinya mempunyai nasib yang baik, maka keselamatan selalu mengikutinya.

Jadi jelas dan tegas, kalau orang mau mendapat selamat , tidak usah mencari jauh-jauh – tidak perlu membakar dupa wangi di atas gunung, kata Lao Tze - haruslah menyadari diri sendiri melaksanakan kebaikan yang nyata.


 


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.9 tahun ke I (1970)

SAYURANISME DAN KEBATINAN


 


 

Account    illumination


 

                OLEH: MISS SOPHIA DEVI

Seorang sayuranis atau pemakan sayur mayur, ciak chay, vegetarian adalah seorang yang pantang makan makanan yang berasal dari hewan (daging, ikan, ayam, udang, dll) tapi hanya nasi dengan sayur mayur, kacang-kacangan, buah-buahan. Dan sebagai gantinya protein hewan itu diambil dari telur, susu, tahu, dan tempe.

Seorang pengikut kebatinan ialah seorang yang mencoba menginjakkan kakinya pada Sang "Jalan" yang menuju pada Ketuhanan dengan membersihkan batinnya (pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatannya) hingga sifat-sifat Ilahi itu dapat bersinar-sinar di sekelilingnya.

Perkataan kebatinan sering juga digandengkan dengan perkataan spiritual, kejiwaan, kerohanian, dan kepercayaan yang artinya hampir bersamaan dan saling mengisi.

UUD'45 kita menghendaki supaya kita semua bukan saja menuju kepada kebahagiaan material, tapi juga spiritual (lahir batin).

Para ahli kebatinan baik jaman dahulu kala hingga sekarang ini; semuanya mengetahui dengan pasti bahwa orang yang sehari-harinya mengejar kekayaan duniawi belaka tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual, maka pada akhirnya mereka itu akan menderita juga; baik secara mental maupun secara fisik.

Bagi mereka yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti tentang hukum-hukum alam (hukum-hukum Ketuhanan) yang berlaku (hukum karma (sebab akibat), hukum tumimbal lahir (reinkarnasi), hukum perubahan (evolusi)) tentu akan menderita/sengsara terhadap goncangan-goncangan hidup pribadi, keluarga, masyarakat, dan dunia.

Itu semua disebabkan mereka tidak mengerti duduknya persoalan, lantaran kebodohan atau tidak tahu tentang hukum-hukum alam tadi.

Dalam sepak terjangnya sehari-hari untuk mengejar kekayaan, nama, pangkat, mereka tidak mempedulikan hukum-hukum itu sehingga tidak jarang mereka sikut kiri, tendang kanan, suap sini, peras sana dan akhirnya berurusan dengan KPK sebab harta yang diperolehnya itu tidak halal alias korupsi.

Sang Buddha mengatakan bahwa manusia lahir di dunia adalah "sengsara" (bagi yang tidak mengerti). Tanda-tandanya kesengsaraan itu ialah: begitu sang bayi lahir sudah menangis! (sebab ia akan menjalani kesengsaraan di dunia ini?)

Sang ibu yang berbahagia itu mengandung bayi selama 9 bulan 10 hari dengan penuh kesengsaraan dan waswas, hingga saat melahirkannya. Meskipun orangtua tadi merasa berbahagia mendapatkan anaknya, - bayi itu-, namun dalam kebahagiaan tadi juga diiringi kekhawatiran akan tidak mampu menjaga anaknya dengan memberikan pendidikan secukupnya di kemudian hari. Sewaktu anak tadi menderita kesakitan, orangtua khawatir, ini bentuk kesengsaraan.

Pada saat-saat anak itu akan masuk TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, ayah ibunya sangat pusing kepalanya untuk memikirkan biaya pendidikan, juga sengsara.

Anak tadi gagal, kuliahnya berhenti di tengah jalan, juga sengsara. Cari pekerjaan atau jodoh tidak dapat-dapat. Tidak mendapatkan yang dicita-citakan; pemutusan hubungan kerja (phk); putus cinta; takut kehilangan apa-apa yang telah dimiliki (harta benda, kedudukan, popularitas); berkumpul dengan orang-orang yang tidak cocok pemikirannya; kehilangan yang dicintai; takut mati (meninggal dunia), adalah juga rentetan kesengsaraan.

Kalau kita pandang kesemuanya itu dari lahir hingga mati adalah selalu sengsara saja. Demikianlah sabda Sang Buddha, yang bagi orang yang tidak mengerti dianggap sebagai ajaran "pesimis".

Sedangkan menurut ajaran Ogamisama, yang mengamil intisari ajaran-ajaran Buddha, Kristus, Yoga, hingga bersifat umum, telah memberikan kuncinya mengapa kita ini selalu sengsara, yakni disebabkan enam akar kejahatan yang harus kita tebas setiap hari, hingga sang jiwa dapat bersinar-sinar, yaitu:

-penyesalan

-keinginan

-kebencian

-kecanduan atau ekstrimitas

-mencintai berlebih-lebihan

-ingin dicintai

Inilah yang menyebabkan kita berbuat jahat/ dosa.

Penyesalan dan keinginan berarti keserakahan dan sangat terikat pada segala hal. Kebencian dan kesukaan berarti pikiran-pikiran tentang suka dan tidak suka, mencintai kelewat batas dan ingin didewa-dewakan.

Inilah sebab-sebabnya kesengsaraan yang harus kita sadari setiap detik.

Mengapa bagi orang-orang yang mendalami kebatinan kesengsaraan itu semua tidak dirasakan/dihiraukannya, malahan tenang-tenang saja dengan gembira menghadapi Sang Hidup ini?

Tidak lain rahasianya mereka itu mengetahui kunci rahasianya hukum-hukum alam ini, bahwa benda-benda keduniawian ini meskipun faktanya ada, tapi pada dasar psikologisnya adalah Maya (bayangan tidak kekal) belaka. Sebagai contoh orang yang tinggal di bawah kolong jembatan tetap gembira, tidak menderita tekanan batin.

Sedangkan orang kaya tinggal di gedung mentereng tapi terus menerus menderita tekanan batin, tidak puas, tidak mengenal batas-batasnya keinginan, mobil satu minta dua dan seterusnya.

Kaum kebatinan mengetahui bahwa kita manusia ini terlibat dalam "ruang dan waktu". Sebab "ruang dan waktu" inilah yang menimbulkan dualisme, yaitu siang-malam, hidup-mati, susah-senang, kaya-miskin, dan sebagainya.

Dualisme inilah yang menimbulkan sengsara, umpamanya: kita ingin kaya, ingin pandai, ingin menjadi apa-apa, ingin titel/gelar/pangkat, ingin melancong ke tempat jauh atau luar negeri, dan lain sebagainya.

Itu semua membutuhkan "ruang dan waktu". Sedangkan kita tadi sudah mengetahui bahwa "ruang dan waktu" itu adalah sengsara.

Tapi sebaliknya bilamana kita "tidak ingin" mencapai/menjadi sesuatu, tetapi hanya "JALAN" saja, tanpa mengharap-harapkan hasilnya atau apa adanya tentu kita tidak akan sengsara.

Sebab berhasil atau gagal itu bukanlah "tujuan" kita, sebab itulah "fakta hasil atau gagal" tadi tidak akan mempengaruhi batin kita.

Bilamana kita sudah mengetahui kuncinya dan menjalaninya sehari-hari, maka kita sudah menjadi mengerti – sadar – bijaksana, dan mengerti tujuan hidup ini serta dapat pula memecahkan segala persoalan dunia – akhirat, teguh menempuh topan badai kehidupan demi kemajuan Sang Jiwa, neraka dunia menjadi surga dunia.

Sekarang kita kembali kepada "sayuranisme". Apakah sayuranis ada hubungan dengan hidup secara kebatinan? Untuk orang-orang yang ingin memulai dengan hidup kebatinan tentu ada hubungan dengan sayuranisme.

Kalau kita tinjau agama-agama yang menganjurkan hidup bersih/suci, mulai dari yang agak lunak hingga yang sangat keras dengan sayuranis adalah:

-agama Katolik Roma menganjurkan umatnya tiap-tiap hari Jumat tidak makan daging.

-agama Kristen Protestan Advent menganjurkan umatnya tidak makan daging, merokok, minum minuman keras, berpuasa dan lain sebagainya.

-Buddha Mahayana di China lebih keras lagi; telur, susu, bawang, cabe, tidak boleh dikonsumsi sebab mengganggu meditasi.

-kaum Yogi menganjurkan sering-sering berpuasa, sayuranis, hidup bersih, dan lain-lain.

Kaum kebatinan telah menyelidiki bahwa daging itu mempunyai getaran-getaran magnet yang kasar tercampur dengan getaran ketakutan dan penasaran waktu hewan ternak itu disembelih. Sebab itu menghambat latihan-latihan dalam membina pribadi/batin kita, terutama dalam masalah kepekaan.

Kaum theosofi yang serius (esoteric group) tidak makan daging atau sayuranis disebabkan prinsipnya "persaudaraan universal" termasuk hewan-hewan sebagai saudara mudanya (muda dalam arti evolusi).

Ada orang yang menjalankan sayuranis disebabkan beberapa faktor:

-sedari kecil diasuh oleh lingkungan keluarga yang sayuranis

-atas kemauan sendiri yang timbul dari dalam dirinya (wajar).

-atas kesadaran sendiri, atas nilai-nilai kebersihan dan persaudaraan.

-terpengaruh anjuran agama/buku/organisasi/guru yang dianutnya.

-ikut-ikutan orang lain, tanpa kesadaran pribadi (pura-pura, ingin disebut orang suci?)

Mengapa sayuranisme itu dianjurkan oleh kaum kebatinan bagi mereka yang melangkahkan kakinya pada Sang Jalan itu? Tidak lain maksudnya agar orang-orang itu dengan mengurangi nafsu-nafsu rendah/kasar itu akan aman dalam perjalanannya nanti, untuk mencapai suatu tingkatan batin, umpamanya: cinta kasih, welas asih, gembira, ketenangan. Ini semua termasuk dalam pembentukan watak pribadi seseorang (character building).

Ada beberapa guru kebatinan yang telah mencapai fase-fase tertentu telah melepaskan sayuranisme dengan alasan sudah dapat menguasai badannya. Ada yang juga disebabkan kesehatan badannya terganggu atau tidak memerlukan kepekaan lagi demi hidup dengan keluarganya. Ada juga yang disebabkan kesulitan anggota keluarga yang memasaknya atau di tempat mereka menumpang, dan lain-lain sebagainya sebagai faktor penghalang.

Sebaliknya ajaran Ogamisama dan Buddha Hinayana (Theravada) tidak menganjurkan sayuranisme. Banyak bhikkhu-bhikkhu di Srilangka, Myanmar, Thailand, Kamboja, Jepang tidak sayuranis.

Sedangkan orang-orang Hindu yang tidak sayuranis hanya mengkonsumsi udang, ikan, daging ayam yang masih segar atau Sattwis. Dan lauk pauk yang sudah menginap satu malam , tidak boleh dimakan sebab dianggap barang yang tamas (busuk, malas, tak ada vitaminnya lagi).

Penulis menyimpulkan bahwa sayuranisme dan hidup kebatinan, terserah pada masing-masing orang untuk melaksanakannya dalam lingkungan di mana ia hidup tanpa paksaan (bebas) dan menggunakan kebijaksanaan. Selamat berjuang hingga nafas yang penghabisan.


 

Rabu, 19 November 2008

WHAT IS BETTER, OBEDIENCE OR SINCERITY?


 


 

Account    illumination


 

I was a child that was hard to obey my parents. I have refused their orders since I was small until I'm grown up now.

Social norms oblige every child to obey their parents. Those norms are derived from our eastern tradition, teachings of religions, and educations of schools.

Consequences that I got as causes of disobediences deserved to punishments. In my childhood my ears were often pulled, my face was slapped, my body was often hit by using rattan stick, and my mouth was rubbed by using chili. I was kept in dark warehouse. I also got mental punishment, my right to enjoy playing, watching TV, and some child's pleasures were banned, being cursed viciously that has broken my heart, like saying some taboo words, some regrets because of my deeds, negative hopes for my misfortune or even my death, followed by some claims on their sacrifices for my birth, feeding, taking care, educating, and everything I deserved to have it as their child. Then, they punished me with negative predicates and they have done it over and over again in their lifetimes, and have terrified me to prevent of being fought.

I have grown to be a difficult person because of their mental punishments. I wanted to commit suicide, luckily I didn't make it, but my broken heart couldn't be fixed when my parents were facing their problems that didn't related to me, but I was abused till the bitter end. I felt tortured and deeply grieved of their abuses as the same as slavery. They rejected my protests, with a classical reason of sacrifice that they had claimed above.

It is reasonable- indeed, that a Great Guru in the past had told us that we could never pay all our parents' sacrifices in anything and any actions. Listening that, his followers even had regretfully expressed that was better they being sadistic tortured in hell than they tortured their parents.

Then I got complicated contradiction. For many years I has lived between hatred and regret, and confused of those mess feelings. Of course these negative memories have accumulated and influenced my personality. I was bad tempered, stubborn, pessimist, and I make mistake repeatedly. My thoughts were such a mess, my meditation couldn't mend my personality, even make me get worse.

When I was grown up, my parents told their bad experiences with each their parents in their childhoods. They had same experiences like me, and I got reasonable explanations about it from books, seminars, and true story films.

Slowly but sure, I began to understand about my parents' weakness as ordinary persons, not as being regarded as gods according eastern traditions that being misunderstood by them who did it. It wasn't meaning my parents changed into extremely well persons; of course they have still got old behaviors, but haven't been cruel like in the past.

I understood that they had undergone brainwashing process by each of their parents in their childhoods. Hearing my grandparents' stories of their cruelties, I felt that they were angry with me, meant they weren't existing 100% in that time, my grandparents existed and were angry with me.

From here I began to realize myself. I wanted to do some good things for my parents but I felt their authority pressure that noticed they wanted to overcome me. I believed that their motivation for my safety too, but they did wrong. I tried to change their thoughts but I totally failed. I make efforts to change myself, and I failed too. I was almost desperate and wanted to run away, but I was conscious that couldn't solve the problem.

I often contemplated, what did I need from my relationship with my parents? Did I need my compensation for my safety then? Did I deserve to behave politely to respect my parents while in my heart anger has been happening for many years abuses? I felt they didn't have me at all, because they failed to understand me at all.

Fortunately, I was relieved by reading these wise sentences that has inspired me:

"Someone indeed is master of oneself,

Who else could other master be?

With someone is perfectly trained,

Someone obtains a refuge hard to gain."

"By diligence, vigilance, restraint and self-mastery,

Let the wise make for him/her an island that no flood can overwhelm."

Then, I have been ready to face the bad moments with my parents. I have been conscious they wouldn't be angry for 24 hours. Because they would be weary after an hour of anger. I preferred to stay silent and not to talk to them for some days and just talk to them properly. Finally, I felt a change in myself without making any efforts.

I realized I could never know what they thought and felt, the important thing was I cared them y my own way. I decided my moods; I deeply appreciated and respected them with my deeds without feelings of vengeance. It was hard in the beginning, but I have decided to train myself to do that.

Then, I spent much times for contemplations, and didn't make efforts to be someone else. I even didn't want to marry someone for my filial piety, and I thought my brother and my sister could continue our family's descendants. I still felt vengeance glowing coals haven't extinguished yet, it would be burning me, my wife, and my children later. What is the usage of having family if I will continue cruelties to my indecent wife and children in the future like my ancestors did in the past?

I have known that me is good in real, and that vengeance will be extinguished for a short time. I don't want anything that makes me happy, I delay my needs to have pleasure times, and I will fulfill it if I'm depressed too much. This control spends no money and makes me comfort and relax. I'm more focused to myself to do what should I do for living happily.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

PANCA INDERA


 


 

Account    illumination


 

                OLEH: SOPHIA DEVI


 

Panca indera ialah: mata, telinga, hidung, lidah, kulit.

Selain dari lima indera itu manusia hidup di dunia menggunakan tiga badan: badan fisik dengan badan etherisnya; badan astral atau perasaan/emosi; badan mental atau pikiran bawah sadar. Ketiga badan ini disebut juga kepribadian atau personality. Personality berasal dari kata persona yang berarti topeng. Atman atau hati (sing - mandarin) tidak dapat bersinar keluar disebabkan personality atau topeng ini tidak harmonis.

Jadi, ketiga badan ini harus dapat bekerja sama dengan harmonis agar kita dapat menjalankan tugas hidup kita sehari-hari, hingga atman/hati atau Peletik Api Ilahi itu dapat bersinar keluar. Maka, kita sebagai manusia menggunakan panca inderanya ini demi berlangsungnya proses tersebut.

Marilah kita tinjau panca indera kita:


 

MATA untuk MELIHAT. Kita melihat segala sesuatu di depan mata kita, tapi biasanya kita kurang menelitinya, hingga samar-samar sepintas lalu hasil obyek yang kita lihat itu. Maka, kita memerlukan Perhatian Murni dalam melihat segala sesuatu.

Selain melihat/mengamati segala gerak-gerik hidup di seluruh jagad raya ini, sebaiknya pula disertai dengan perasaan keindahan, cinta kasih, pikiran murni, maka segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

Contoh: seseorang yang berbakat seni atau berperasaan halus, jika melihat patung orang yang telanjang bulat, akan mengatakan "indah"; tapi sebaliknya orang yang berperasaan kasar atau berbudi rendah akan mengatakan patung itu "porno". Jadi, segala apa yang kita lihat ini, tergantung pada sifat-sifat getaran jiwa kita, apakah banyak yang halus atau banyak yang kasar sifatnya. Jadi ini relatif.

Maka setiap agama menganjurkan kita supaya melihat yang baik-baik saja, untuk memperhalus getaran - jiwa penglihatan kita. Lebih baik melihat sesuatu yang sedap dipandang mata, daripada yang tak bermoral itu. Dapat membeda-bedakan yang baik dari yang buruk, yang perlu dan yang tidak perlu, inilah yang disebut "Wiweka". Biasanya kita dengan cepatnya melihat kesalahan-kesalahan orang lain daripada kesalahan kita sendiri. Kita tangkas mengritik orang lain daripada mengritik diri sendiri.

Selain melihat keluar, sebaiknya kita melihat ke dalam BATIN kita masing-masing untuk menemukan sesuatu yang lebih agung, lebih kekal, lebih sempurna, dan lebih indah

.

TELINGA untuk MENDENGAR. Kita mendengar 1001 macam suara terus-menerus, baik yang halus atau yang kasar. Tinggal kita sekarang memilih suara mana yang akan kita perhatikan atau kita simak baik-baik. Biasanya kita tidak suka kesepian, maka kita menyetel tape compo. Jika tape compo itu suaranya kecil, kita menginginkan home theater seab suaranya lebih mantap, nyaring, dan enak kedengarannya seperti drum kosong dan bukannya kaleng kosong yang pecah suara musiknya.

Tapi anehnya, jika kita sudah punya home theater dan disetel musik yang merdu, kita biasanya tidak mempedulikannya lagi, kita asyik ngobrol atau melakukan hal lainnya hingga suara yang menderu-deru itu TIDAK DIDENGAR atau diikmati sama sekali.

Inilah kenyataan kita sehari-hari bahwa kita SUKA RAMAI-RAMAI dengan segala macam SUARA. Sebab itulah kita tidak dapat TENANG, tidak mau mendengarkan musik yang ada di dalam hati kita, atau nyanyian alam yang bergema di sekitar kita.

Mendengarkan orang-orang mengolok-olok atau bergosip tentang sesamanya, biasanya kita senang sekali. Padahal agama kita menganjurkan untuk tidak mengikuti kabar-kabar angin itu, sebab kita akan terlibat membantu mengacaukan suasana, baik disadari maupun tidak. Soal ini dapat kita pelajari dalam buku-buku spiritual.

Jadi, Wiweka juga diperlukan untuk memilah antara yang baik atau buruk untuk PENDENGARAN kita.


 

HIDUNG untuk MENCIUM atau BERNAFAS, juga penting diperhatikan. Hidung adalah alat untuk kita bernafas hingga HIDUP. Paru-paru yang bekerja secara otomatis sebenarnya menghisap hawa udara yang berisi oksigen dan PRANA (kekuatan hidup), untuk melangsungkan hidup badan fisik kita.

Maka tariklah nafas dalam-dalam, perlahan-lahan secara wajar hingga seluruh badan etheris atau badan fisik kita terisi prana atau zat kehidupan yang berasal dari sinar matahari .

Oleh filsafat yoga dikatakan, bahwa hidup manusia ini dihitung dengan nafasnya, jika orang yang bernafas dalam-dalam dan perlahan-lahan, maka dia akan panjang umur, sedangkan jika orang bernafas pendek-pendek tentu cepat matinya. Umpamanya orang yang sering marah-marah, hidup tidak tenang, dan lain-lain.

Maka dari itu, carilah udara yang sejuk dan segar. Di pegunungan lebih sehat hawanya daripada di kota-kota industri yang udaranya telah banyak tercemari polusi.

Minyak wangi yang lembut sedap aromanya, lebih baik daripada yang tajam menyengat baunya. Demikian untuk tujuan-tujuan ritual keagamaan, pembakaran dupa kayu gaharu/cendana lebih baik daripada kemenyan, sebab yang pertama itu menarik perhatian para dewa/bidadari dari alam kebahagiaan dan yang belakangan ini menarik perhatian makhluk-makhluk halus tingkat rendah dari alam penderitaan yang penampakannya menyedihkan dan menyeramkan.


 

LIDAH di rongga mulut untuk merasakan dan mengkonsumsi MAKANAN/MINUMAN dan untuk berBICARA. Jika kita meninjau mereka yang menjalani hidup total untuk spiritual, pada tingkat-tingkat permulaan sangat dianjurkan untuk makan berbagai sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Itu semua diperlukan demi memperhalus getaran-getaran badannya tersebut, hingga menjadi sensitif dan aman.

Ada pepatah yang mengatakan demikian: "periksalah sebelumnya apa yang akan dimasukkan dalam mulutmu, dan waktunya keluar besok pagi tidak perlu diperiksakan." Artinya, bilamana kita sembarangan saja makan dan minum, maka tentu kita akan sakit. Dan kotoran kita perlu diperiksa oleh dokter untuk mendiagnosa penyakit dan pengobatannya.

Dengan kata lain kita harus menjaga makanan dan minuman kita agar selalu bersih dan sehat.

Jika mulut kita berbau busuk, biasanya disebabkan makanan yang kita konsumsi kurang tercerna dengan baik atau daging yang membusuk dalam saluran pencernaan kita, atau ada gigi kita yang berlubang dan perlu segera diperiksakan ke dokter gigi.

Selain itu, minum minuman keras beralkohol tinggi secara berlebihan bukan saja merusak badan fisik kita terutama otak, lever, dan jantung, tetapi juga badan rangkap etheris kita juga ikut rusak.

Maka, di dalam agama dan aliran-aliran kebatinan dilarang keras mengkonsumsi alkohol atau rokok dan sejenisnya, sebab itu semua menghalang-halangi kemajuan hidup spiritual.

Jika kita sudah memelihara rongga mulut kita dengan kebersihannya, maka mau tidak mau semua yang kita ucapkan itu juga akan terpengaruh kemurniannya. Dinyatakan dalam semboyan wartawan:"Bahwa ujung pena (wartawan) lebih tajam daripada pedang". Tetapi Sang Budha mengatakan:"Bahwa ujung lidah adalah yang paling tajam dari segalanya."

Oleh karena lidah tak bertulang itulah dunia ini menjadi kacau. Misalnya dalam hidup berkeluarga, suami istri, orangtua dan anak-anak, tetangga atau kenalan, dan lingkungan masyarakat di mana kita hidup.

Semua kekacauan terjadi yang disebabkan oleh sang lidah tak bertulang yang telah mengucapkan kata-kata kasar, gossip, menyinggung, menghina, membumbui/menambah-nambahi, dan lain-lain sebagainya.

Diceritakan bahwa lidah kita yang tak bertulang itu saking lihai dan berbahayanya, maka dikurung rapat oleh 32 biji gigi kita. Maka dari itu kalau kita ingin marah-marah, hitunglah sampai 32 kali dulu, tentu kita tidak jadi menyemburkan kata-kata yang "berapi" dan membakar emosi yang mendengaarnya (boleh coba dan uktikan sendiri).

Menurut salah satu buku dikatakan: "Janganlah bicara yang tak perlu, bila perlu dan berguna untuk dikatakan, katakanlah dengan ramah tamah." Dan sewaktu-waktu kita juga perlu melatih diri untuk "DIAM" atau tidak bicara (mauna) selama beberapa jam sehari. Ini latihan untuk menenteramkan pikiran/perasaan/badan fisik kita dan juga untuk menyimpan kekuatan hidup (prana) kita supaya tidak dihabur-hamburkan dengan sia-sia.


 

KULIT untuk MENYENTUH atau MERABA. Kulit badan kita juga perlu diperhatikan kebersihannya, yaitu dengan mandi dua kali sehari supaya lubang pori-pori tidak tertutup, sehingga keringat dan udara dapat menyegarkan kita. Sentuhan kulit berhuungan rapat sekali dengan urat saraf yang berpusat pada pangkal otak dan juga pada badan etheris sebagai jembatan ke badan astral/perasaan kita.

Jika perasaan kita sudah halus, maka saat kita duduk berdekatan dengan orang lain, belum sampai kulit kita menyentuh kulitnya, sudah terasa sesuatu yang jelas, misalnya: panas/dinginnya temperamen seseorang yang berada di dekat kita.

Ada orang yang senang berdekatan, ada lagi yang mrasa gelisah disebabkan percampuran badan astral atau auranya itu dengan badan lainnya yang tidak sama getarannya, hingga saling mempengaruhi satu sama lain.

Aura ialah sinar dari kekuatan magnetis pribadi seseorang, jadi ukannya badan astral. Dikatakan bahwa orang yang sudah waspada dapat melihat orang yang tidak sehat (sakit), bahwa sinar auranya lemah seperti bulu kucing yang kena air.

Dalam pemersihan kulit badan fisik ini, perlu juga diperhatikan anjuran para occultist, bahwa kotoran kuku-kuku baik di tangan maupun di kaki harus dibersihkan, sebab kita semua selalu memancarkan kekuatan magnetis – badan kita lebih banyak melalui jari jemari tangan dan jari-jari kaki kita.

Bilamana kita tidak membersihkan kuku-kuku kita yang kotor itu, secara tidak sadar kita akan memancarkan/mengeluarkan pengaruh-pengaruh yang tidak sehat ke dalam alam etheris di sekeliling kita.

Duduk sambil menggoyang-goyangkan kaki kita, juga tidak dianjurkan oleh para yogi, sebab kita selalu menghambur-hamburkan kekuatan hidup (prana) kita secara sia-sia.


 

Kesimpulannya: Panca Indera kita harus dipelihara sebaik-baiknya dan dipertajam serta dimurnikan, sebab inilah yang menjadikan atau merupakan kunci untuk kita menginjakkan kaki kita ke dalam Dunia Kebatinan.

Alat-alat inilah yang menjadikan sumber daripada karma baik atau karma buruk yang akan kita petik kelak di kemudian hari.

Selain lima alat ini dan badan fisik, PERASAAN dan PIKIRAN juga memegang peranan penting. Maka kita semua diminta dan ditunjukkan jalan untuk menguasai ketiga badan –badan itu.

Perbuatan mungkin dapat dengan mudah dikuasai, tapi yang agak sukar ialah perkataan yang sering keterlaluan dikeluarkannya. Tapi yang paling sukar ialah pikiran. Sebab perbuatan dapat kita lihat dengan nyata, tapi perkataan agak sukar diketahui sebab diucapkan dengan bisik-bisik atau diucapkan dalam hati. Tetapi yang paling sukar dari segalanya, ialah pikiran yang tak dapat terlihat itu, dan yang cepat datang perginya; meloncat-loncat seperti kera kata Swami Vivekananda. Para bhikkhu dan para yogi semuanya berusaha keras untuk menaklukkan pikiran yang tak dapat dipegang itu, seperti angin saja.

Dalam filsafat Zen, sang pikiran itu adalah bagaikan cermin yang kosong. Yang disebut pikiran itu ialah pantulan obyek benda-benda duniawi ini hingga merupakan geraknya/gelombangnya pikiran itu sendiri. Padahal dasarnya sang KOSONG itu sendiri yang disebut Dharma Kaya atau Tao.

Marilah kita semua berusaha sedikit demi sedikit untuk menaklukkan sang pikiran itu, hingga kemenangan terakhir akan ada pada kita semua. Siapa yang dapat menguasai pikirannya, dapat juga menguasai dunia dan akhirat. Sadhu!


 


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.8 tahun ke I (1970)


 


 


 


 


 

MENGAPA ORANG MENDAPAT TEKANAN BATIN?


 


 

Account    illumination


 

Tekanan batin merupakan semacam penyakit yang tidak ringan.

Orang yang mendapat tekanan batin, dia sakit. Maka dinamakan penyakit tekanan batin.

Tekanan batin menyebabkan pikiran seseorang kacau, bingung, tidak karuan arahnya. Lalu perilaku, tindakan, atau perbuatan orang itu tidak normal. Itulah yang menyebabkan orang lain menganggapnya sebagai orang "strip" atau dalam bahasa Hokkian dikatakan "poa gong".

Adapun berat atau ringannya penyakit tekanan batin itu bergantung dengan kadar kekacauan yang dideritanya.

Tekanan batin serupa dengan penyakit urat syaraf. Dokter yang meyakinkannya dapat menjelaskan lebih banyak.

Di sini penulis hanya akan membicarakan tekanan batin dari sudut kebatinan.

Pertama-tama marilah kita mencari tahu, kenapa orang mendapat tekanan batin?

Apakah karena dia miskin, kurang uang?

Jika kita benar-benar menyelidikinya, bukan itu sebabnya. Di dunia ada banyak orang miskin dan kekurangan uang, tetapi beberapa di antara mereka saja yang mendapat penyakit yang tidak normal itu.

Orang yang sudah mapan dan kaya raya, di antaranya ada juga yang menjadi linglung, sinting, atau abnormal. Inilah yang menandakan uang tidak membuat orang abnormal.

Atau karena kebodohan, sehingga dia mendapat penyakit tekanan batin?

Itu juga bukan. Di dunia ada banyak orang bodoh, dan mereka tidak semuanya gila. Bodoh tinggal bodoh. Masalah edan lain lagi. Bahkan mereka sanggup menjalani cara hidup yang sembarangan tanpa banyak penolakan seperti saudara-saudaranya yang cerdas dan intelek.

Orang-orang yang intelek dan ber-IQ tinggi, di antaranya ada yang lebih berbahaya bila tidak mengerti jalannya hidup yang lebih mendalam. Maka pengertian kebatinan adalah penting bagi setiap orang, terutama yang jenius.

Apakah orang yang mendapat tekanan batin itu disebabkan rongrongan, godaan, dan sebagainya?

Tidak juga. Bila kita telusuri dalam-dalam, kejadian-kejadian dari luar bukan menjadi biangnya orang mendapat tekanan batin sehingga menyebabkan penyakitnya.

Apakah karena orang itu lemah, lalu dihina, dinista, ditindas oleh pihak yang kuat dan berkuasa, hingga menjadi sakit batinnya?

Itu juga tidak menjadi biang keladi ketidakwarasan yang disebabkan tekanan batin yang didapatkannya.

Yang jelas menjadi pangkalnya tekanan batin yaitu si 'aku' menghendaki sesuatu, namun tidak tercapai. Tapi si 'aku' terus terikat dengan keinginannya itu. Si 'aku' tidak dapat melepaskan keinginannya tadi, itulah menimbulkan pertentangan yang hebat sekali di dalam batin. Akibatnya batin menjadi gelisah, kalut, marah, gusar, dan sebagainya.

Kita dapat membayangkan sendiri, bagaimana perkembangan orang yang mengalami pertentangan dan kekalutan batin secara demikian?

Sudah tentu ia menjadi abnormal. Mulai dari pikirannya, lalu perbuatannya, termasuk juga percakapannya jadi ngaco tidak karuan.

Dia yang berbuat demikian tidak sadar – meskipun dia berkata bahwa dia sadar.

Sebab, apabila dia sadar, dia tidak berbuat demikian, mengacau dan berbicara sembarangan, seolah-olah dia tahu segala pekerjaan Tuhan.

Kepada siapa saja dia merasa benci, entah melanggar perintahnya, entah tidak menuruti keinginannya, lalu dijadikan sasarannya. Dia memaki-maki, mengutuk, mengumpat, menghujat, mengatakan di luar kesopanan manusia yang normal.

Jadi jelaslah bahwa si 'aku' sangat berpengaruh besar pada orang itu, yang menimbulkan kelakuan-kelakuan aneh, perbuatan-perbuatan yang abnormal, karena ia tidak dapat lepas dari keterikatan keinginannya yang tak tercapai.

Orang yang menginginkan sesuatu, walaupun keinginannya besar, tapi kalau dia tidak terikat secara "mati-matian" tidak akan mengalami sakit bila gagal.

Dan banyak orang yang gagal dengan usahanya tidak mendapat tekanan batin, sebab mereka tidak terikat begitu keras. Si 'aku' tidak berpengaruh sedemikian hebatnya.

Maka yang harus dimengerti adalah si 'aku' ini. Si pikiran yang membesar-besarkan dirinya sendiri, mau menang sendiri, minta dipandang unggul sendiri,- itulah yang membuat dirinya terkekang., pikiran dan hatinya bertentangan, batinnya kacau, perasaannya gelisah, akhirnya menjadikannya susah, menderita, yang akibatnya menjadi penyakit tekanan batin.

Bagaimana supaya kita tidak mendapat tekanan batin? Dia harus tidak terikat dengan segala sesuatu. Pikirannya harus bebas, bersih dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal, lepas dari khayalan atau ilusi. Dengan singkat, si 'aku' harus dimengerti, sebab si 'aku' inilah yang membuat permintaan yang bermacam-macam rupanya.

Orang yang 'aku'-nya begitu besar, mempengaruhi seluruh hidupnya tanpa sadar. Tapi dia mengakunya sadar.

Si 'aku' tidak mau dikalahkan. Si 'aku' minta diunggulkan, dijunjung tinggi, dan dipuji-puji.

Jika si 'aku' disinggung, dengan segera terjadilah keributan, percekcokan, dan perlawanan.

Di situlah sukarnya kita berhadapan dengan si 'aku'. Keadaan hidup yang demikian ini tidak akan berhenti, tidak akan berubah, tidak akan berganti, - apabila kita tidak dapat mengerti diri kita sendiri. Hanya kalau pengertian itu datang, ada pada kita, barulah kesadaran yang sejati membukakan "belenggu" kita dan di situlah peranan si 'aku' berhenti.

Apakah yang mengganti jika si 'aku' sudah tidak ada dalam diri kita? Kasih yang ada. Kasih itulah hidup manusia yang sejati.

Dengan kasih setiap orang hidupnya lapang, bersih, tidak terikat dan tidak terkekang dengan apapun. Orang yang begitu adalah orang yang bebas.

Dan jika kita dapat hidup bebas, kita senang, gembira ria, tenang tenteram, berpandangan luas, tidak akan ada tekanan batin yang mengganggu kita.

Maka marilah kita semua mengarahkan hidup kita kepada hidup yang bebas.

Jangan sampai kita diperbudak sifat 'aku'. Jangan kita lupa dan memupuk si 'aku'. Jangan sampai kita menuruti keinginan si 'aku' yang hanya mau mengenakkan dirinya sendiri, namun melepaskan hubungan baik dengan sesamanya.

Ingatlah baik-baik, kita tidak hidup menyendiri. Hidup kita yang nyata ialah baik dengan semua makhluk hidup.

Orang yang pandai bukan untuk dirinya sendiri, melajnkan untuk hubungan baik dengan yang lain. Dan itulah sifat kasih. Kasih itu kewajaran manusia, kasih itu kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Jika orang menyadarinya, maka tekanan batin tidak ada. Lalu hidupnya senang, tenteram, bersih, dan segar.

Semoga setiap orang suka mengerti hal itu, dan tidak terganggu dengan tekanan batin bercorak apapun.


 

Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.10 tahun ke I (1970)

MENGAPA ORANG SELALU MINTA SELAMAT?


 


 

Account    illumination


 

Orang yang minta itu sebenarnya orang yang tidak punya. Perlu pakai, namun tidak punya, maka orang itu minta.

Di waktu masih anak-anak yang diminta barang mainan. Sebab dia girang, dia senang dengan barang mainan itu. Jadi yang senang baginya, dia minta. Yang tidak menyenangkan dia tidak minta.

Di waktu dewasa yang diminta orang berbeda lagi. Macam permintaannya bahkan banyak. Malah minta yang satu belum mendapat, minta yang lain. Yang lain itu pun belum tercapai, sudah minta pula yang lain lagi. Begitu seterusnya: minta, minta, dan minta.

Di antara permintaan-permintaan itu yang paling laris ialah uang.

Orang di sana dan di sini minta uang, minta kekayaan, minta selalu ditambah harta bendanya.

Minta rejeki, minta untung besar, minta kekayaan yang berlimpah-limpah.

Di samping uang ada lagi yang juga menduduki tempat yang tertinggi, yaitu: S E L AM A T

Bukan main orang menggandrungi minta selamat.

Dari orang di timur, di barat, di selatan, dan di utara semua minta selamat dan selamat.

Orang yang sudah di istana masih minta selamat. Apalagi orang yang tinggal di gubuk di tengah sawah. Malah jika dibanding, yang tinggal di sawah agak kurang permintaan selamatnya daripada yang sudah dikawal di gedung yang gemilang seperti istana itu.

Yang miskin minta selamat, yang kaya raya juga masih minta selamat.

Yang sakit-sakitan minta selamat, yang segar bugar juga minta selamat.

Pendek kata, orang-orang itu amat sangat membutuhkan selamat.

Marilah kini masing-masing menanyakankepada diri sendiri, mengapa orang selalu minta selamat?

Jangan katakan akan menjalani operasi (pembedahan) badannya, sedangkan akan pergi ke luar kota saja lebih dahulu minta selamat.

Mau cabut gigi minta selamat. Mau merekrut pegawai minta selamat. Mau berdagang minta selamat. Mau pindah rumah minta selamat. Mau berhubungan bisnis dengan siapa saja minta selamat.

Apalagi mau menikah, mesti minta selamat. Mau mendirikan bangunan, sampai mau memindahkan kandang sapi juga minta selamat.

Dalam salah satu ujian mengambil SIM malah ditanya suatu pertanyaan begini:

"Apakah pesan istri atau suami anda apabila anda hendak pergi ke luar kota dengan kendaraan anda?"

(Kalau belum punya istri atau suami diganti ibu atau bapak anda)

Karuan pertanyaan itu kalau berbunyi:

"Dari Malang ke Surabaya jalan mana yang paling selamat?"

Nah, itu menunjukkan betapa keselamatan itu dipentingkan orang.

Pria, wanita, tua, muda, yang tinggi, yang pendek, yang gemuk, yang kurus,- semua minta selamat, selamat, dan selamat.

Memang tidak salah, selamat itu dibutuhkan oleh semua orang. Cuma yang satu ini ada yang lebih kebacut daripada yang lain.

Andaikata ada "Dewa" yang menjual kartu "Selamat", tiap orang yang membawanya ke mana-mana mendapat selamat, pasti akan lebih laris daripada menjual undian berhadiah atau apa saja.

Setelah kita mengenangkan semuanya itu, marilah kita selidiki agak mendalam: Apakah sebenarnya selamat itu?

Istilah "selamat" ini berasal dari kata "salaam" atau "shalom" (Ibrani). Salam berarti batinnya tenang (inner peace).

Jadi orang yang selamat itu adalah orang yang batinnya tenang.

Orang yang batinnya gelisah, tentu tidak merasakan selamat.

Orang biar berapa saja kekayaannya kalau batinnya gelisah, dia tidak selamat. Tidak merasa mempunyai keselamatan, walaupun dia bebas dari kecelakaan.

Rockefeller- raja minyak, yang harta bendanya berlimpah-limpah, masih perlu membuat villa di Miami, untuk dia seorang diri menyepi dengan kawalan yang ketat (sebab dia tidak mau dikunjungi siapapun), itu menunjukkan dalam dirinya belum mempunyai ketenangan yang wajar. Batinnya masih gelisah. Maka, dengan sendirinya, dia belum mempunyai selamat yang sebenarnya.

Dan banyak hartawan-hartawan yang lain, karena mereka tidak mempunyai ketenangan batin yang sesungguhnya, maka hatinya selalu mengandung kekhawatiran dan ketakutan.

Jadi selamat itu adalah tenang. Batin orang yang tenang, itulah keselamatan.

Kalau orang menyapa:"Selamat pagi!" Maksudnya yang benar ialah "milikilah ketenangan batin di pagi hari itu."

Demikian di waktu orang mengucapkan "selamat jalan", supaya di perjalanan itu mempunyai hati yang tenang.

Coba bagaimana kalau dalam perjalanan dengan bis atau kereta api membawa barang (koper pakaian dll) misalnya, dalam keadaan batin gelisah, apakah kopernyaitu tidak ketinggalan di bis atau gerbong waktu dia turun di terminal atau stasiun?

Kekecewaan orang yang justru batinnya gelisah. Oleh karena itu, sejak purbakala orang menjunjung ketenangan batin, yang dengan kata lain disebutnya: s e l a m a t.

Itulah sebabnya yang membuat orang selalu minta selamat.


 

Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.7 tahun ke I (1970)

APAKAH TUHAN ITU?


 


 


 


"Quia de deo scire non possomus quid sit,
sed quid non sit, non possomus considerare de deo,
quomodo sit sed quomodo non sit."                                                                                                                      
 (Thomas Aquinas, Summa Theologica)


"Karena kita tidak dapat mengetahui apakah Tuhan itu,
dan kita hanya dapat mengetahui apakah yang bukan Tuhan,
dan kita hanya dapat membicarakan yang bukan Tuhan itu."                                                                               
(diterjemahkan Anthony de Mello,S.J.,AWARENESS)


 


"Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam asankhatam,
no cetam bhikkhave abhavisam abhutam akatam asankhatam,
nayidha jatassa bhutassa sankhatassa nissaranam pannayetha.
Yasma ca kho bhikkhave atthi sankhatassa nissaranam pannaya'ti."                                                                                                             
(Buddha Gautama, Sutta Pitaka, Udana VIII: 3)


"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."                                                                                                                            
(diterjemahkan Cornelis Wowor,M.A.)


 


"Om Bhurbhuvah Svaha
                                                              
Tat Savitur – Varenyam
                                                         
Bhargo Devasya Dheemahi
                                                      
Dhiyo Yo Nah Prachodayat"                                                                                                                     
(Veda, Gayatri Mantra)


"Wahai Cahaya Ilahi Yang Menerangi Alam Semesta,
terangi pula pikiranku,
sehingga aku dapat memilah
mana tindakan yang tepat dan mana yang tidak tepat."                                                                                    
(Anand Krishna, Seni Memberdaya Diri 3, ATISHA)


 


"TAO yang dapat disuarakan
bukanlah TAO yang abadi.                                            
Nama yang dapat diungkapkan
bukanlah nama yang abadi.                                        
Tidak bernama adalah awal Surga dan Bumi.                                     
Yang bernama adalah ibu dari sepuluh ribu sesuatu.                                            
Renungkan ke-"tiada"-an
untuk melihat misterinya.                                                
Renungkan ke-"berada"-an
untuk melihat manifestasinya.                                         
Keduanya datang dari sumber yang sama
tetapi mempunyai nama yang berbeda.                         
Dari segala sesuatu yang dalam,
mereka adalah yang terdalam;                                     
Gerbang semua misteri                                                    
Kebajikan tertinggi bagaikan air,                                     
Menguntungkan sepuluh ribu tanpa berjuang.                                
Mengalir di tempat rendah yang ditolak manusia"                                                                                                    
(Lao Tzu, Tao Te Ching)                                                 
diterjemahkan Chin Ning Chu, The Asian Mind Games)


 

"
Hanyalah apabila tidak terdapat khayalan,
maka "apa adanya" adalah keramat.

Apabila tidak ada ilusi, maka "apa adanya" adalah Tuhan
atau nama lain apa pun yang bisa digunakan."                                                                     
(J. Krishnamurti, The Urgency of Change)


 


"Kita tidak perlu memperdebatkan mengenai suatu kata, karena "Tuhan" hanyalah suatu kata, suatu konsep. Seseorang tidak pernah berdebat mengenai realitas; kita hanya berdebat mengenai pendapat-pendapat, mengenai konsep-konsep, mengenai penilaian-penilaian. Lepaskan diri Anda dari konsep-konsep, lepaskan diri Anda dari pendapat-pendapat, lepaskan diri Anda dari prasangka-prasangka, lepaskan diri anda dari penilaian-penilaian, dan Anda akan melihat realitas yang sesungguhnya."                                                                                                     
(Anthony de Mello,S.J., AWARENESS)


 


Yang Benar selalu Ada.                                                        
 Yang tidak benar, tak pernah ada.                                            
 Para bijak menyadari Kebenaran Mutlak di balik kedua-duanya.


Yang melingkupi segala sesuatu,
Yang melingkupi Alam semesta ini,
hanya Ia yang tak pernah musnah             
karena memang tidak ada yang dapat memusnahkannya.


Ia yang tak termusnahkan itu pula yang menempati raga kita, badan kita yang sesaat ada, sesaat tidak ada.


Ia yang menganggapnya sebagai pembunuh dan ia yang menganggapNya terbunuh -                     kedua-duanya dungu, karena Dia tak pernah membunuh, juga tidak pernah terbunuh.

Dia tidak pernah lahir, Dia tadak pernah mati pula. Penciptaan dan pemusnahan tidak terjadi dalam DiriNya.        Tak terbataskan oleh kelahiran dan kematian, Kekal Abadi, Langgeng, dan Yang Selalu Ada - Dia tidak ikut musnah dengan raga.


Ia yang mengenal Dia, sebagai Yang Tak Termusnahkan, Abadi, Tak Terlahirkan dan Tak Berubah  bagaimana ia dapat membunuh seseorang dan bagaimana pula dapat menjadi sebab pembunuhan ?

Ibarat seseorang melepaskan pakaian lama dan memakai pakaian baru, begitu pula Dia menanggalkan badan yang lama dan memasuki badan yang baru.

Senjata tidak dapat membunuhNya, Api tidak dapat membakarNya, Air tidak dapat membasahiNya, dan Angin tidak dapat mengeringkanNya.

Dia tidak dapat dilukai ataupun dibakar.                                                    

Dia tidak dapat dibasahi atau dikeringkan.                                                 

Ketahuilah bahwa Dia Abadi AdaNya – Maha Ada, Tak tergoyahkan, Tak berubah.                         Dia berada untuk selama-lamanya.

Dia disebut Tidak Nyata (sehingga tidak dapat dirasakan oleh panca indera), tidak dapat dipikirkan dan tidak akan pernah berubah. Oleh karenanya, wahai Arjuna, jangan menangisiNya!                             

Seandainya kau anggap Dia berulang kali lahir dan mati, terus-menerus, tanpa henti, tetap juga wahai Arjuna, layaknya kau tidak menangisi Dia.

Ia yang mati harus mati, ia yang mati harus lahir. Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan.

Makhluk-makhluk yang kau lihat ini, wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahan terasa Nyata, dan pada akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas, apa gunanya kau bersedih hati?

Ada yang terpesona oleh keajaibanNya,                                                    

Ada yang mengatakan betapa agungNya Dia,

Ada yang mendengar betapa ajaibNya Dia,

Namun tak seorang pun yang memahamiNya.

Dia yang menghuni badan kasar ini tidak akan pernah terbunuh.

Oleh karena itu, jangan gelisah!                                                                                 
(Anand Krishna, Bhagavad Gita bagi Orang Modern, SAMKHYA YOGA)


 

"hidup tanpa roh,kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak kenal siapa maka tak kenal jaman maupun perhentian, tak berarah tak bertempat, jauh tak terbatas dekat tak tersentuh, tak di luar tak di dalam, halus tak terpungut, besar tak teraba, bukan wanita bukan laki-laki, bukan siang bukan malam, tak bisa dikira."                                             
(masyarakat Jawa Tengah, gambaran tentang Pangeran)


 


 

Saya tidak akan menambahnya lagi dari opini-opini mayoritas yang Anda dan saya sudah biasa mendengarkannya dari mana-mana. Saya tidak bermaksud menantang atau menentang otoritas-otoritas lembaga religius tertentu, karena saya bermaksud mengungkapkan opini saya saja berdasarkan sumber-sumber yang cocok dengan hati nurani saya. Saya juga tidak bermaksud membenarkan opini saya ini, Anda sendiri yang bisa memahami dan menilainya.

Jika Anda masih bingung dengan yang saya maksud, maka saya menghimbau Anda untuk:


Jangan menerima sesuatu hanya karena wahyu                                            


Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi yang turun-temurun


Jangan menerima sesuatu atas dasar kabar angin


Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan kitab suci


Jangan menerima sesuatu hanya karena berdasarkan logika


Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar


Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan gagasan


Jangan menerima sesuatu hanya karena kesaksian dari orang-orang yang dipercaya


Jangan menerima sesuatu hal karena itu disampaikan oleh pemuka-pemuka agama yang dihormati


Tetapi setelah diamati dan diperiksa dengan teliti,
ketika Anda temukan hal itu sesuai dengan pemahaman,
berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan semua orang,
maka terimalah dan laksanakan dalam hidup Anda.                                             


 

Kamis, 13 November 2008

BLOG VISION

BLOG VISION


 


 

Saya sering berangan-angan untuk hidup lebih nyaman, tanpa beban, tanpa kekhawatiran, selanjutnya saya merasa susah. Mengapa? Saya berpikir, kini saya masih belum dapat income, sedangkan lambat laun tabungan saya berkurang dan berkurang terus tanpa ada penambahan saldo. Apakah saya harus terus bekerja seperti dulu? Tidak! Bekerja seperti dulu, meskipun bisa menambah saldo tabungan, namun menguras energi dan waktu saya. Saya ingin mencurahkan perhatian saya pada hati saya, apa daya energinya terkuras, waktunya mepet, maka saya tidak bisa menuliskan ide-ide saya dengan lancar, rasanya di kepala saya betul-betul kosong. Selain itu, saya sendiri tidak berminat dan antusias dengan pekerjaan saya dulu, karena saya cuma menginginkan uangnya, tidak peduli saya sebaiknya bagaimana memperbaiki kinerja jadi pelanggan yang saya layani bisa memberi banyak order lagi. Saya tidak berminat , saya merasakan keterpaksaan untuk mencari order pada pelanggan. Walaupun saya sudah bekerja cukup lama, namun saya merasakan semakin susah saya bekerja, bukan hanya dipengaruhi situasi eksternal seperti persaingan dengan kompetitor atau krisis ekonomi, saya merasakan penghentian minat akan pekerjaan lama saya, karena saya tahu prospek pekerjaan itu ke depan masih dalam tanda tanya. Ada kemungkinan bisa sukses, tapi sukses seperti apa? Apakah saya nanti menangani bisnis berskala besar? Apakah saya tetap bertahan dalam pekerjaan saya dengan kondisi biasa-biasa saja seperti waktu mulai jalan dulu? Jika dua-duanya terjadi, itulah neraka dalam kehidupan saya.

Jika bisnis saya membesar, saya wajib mencurahkan banyak energi dan waktu, tentu saja sebagian besar hidup saya tersedot demi perkembangan bisnis saya itu. Apakah saya senang? Saya senang dengan jumlah uang yang bisa saya dapatkan, namun saya tidak senang dengan sisanya yang lain, karena semuanya pekerjaan yang sangat membosankan, berulang-ulang saya harus mengerjakannya. Saya juga tidak suka menghadapi masalah-masalah baru yang muncul akibat membesarnya bisnis saya, sebab penyelesaian masalah-masalah itu menyita semua waktu dan energi yang ingin saya pakai demi cita-cita saya sesungguhnya.

Jika bisnis saya stagnan, berarti saya hanya mengulang pengalaman saya sejak awal mula menekuni bisnis, jauh lebih membosankan, bahkan merugikan. Pengalaman setahun diulang lima, sepuluh, tiga puluh, lima puluh, atau seratus kali, tiada bedanya dengan tahanan seumur hidup di penjara. Kesenangan saya cuma mendapatkan uangnya yang lainnya adalah penderitaan. Bisnis stagnan sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan, tiap tahun inflasi bertambah, nilai kebutuhan barang dan jasa naik terus, nilai mata uang makin tergerus. Tiap tahun dilalui dengan resiko, dari penyakit, kecelakaan, bencana alam, kriminalitas, masalah keuangan, masalah keluarga, masalah kenyamanan, masalah kejiwaan, dan masalah-masalah lain yang mampu menghanguskan hasil kerja saya.

Maka saya memberanikan diri menghentikan pekerjaan saya, hidup dengan santai, namun tidak terbuai dengan kenyamanan.

Saya menulis, menyatakan ide-ide yang tidak biasa, supaya dengan ide-ide demikian saya mendapatkan asset yang seperti Robert Kiyosaki katakan menghasilkan banyak uang tanpa keterlibatan si pemilik di dalamnya, saya tambahkan, tidak tergantung dalam kondisi apapun, tetap berlanjut dalam jangka waktu yang sangat lama, dan dapat dirasakan manfaatnya oleh mereka yang hidup di masa depan.

Apakah saya sekarang tetap merasa susah? Masih, saya merasakan sedikit, kini saya merasa lebih banyak energi, gairah, dan lebih semangat unuk menulis dan menulis lebih baik lagi, saya merasakan cinta dalam hati saya untuk dibagikan kepada Anda sekalian, semoga ini ada manfaatnya, terima kasih.

Minggu, 09 November 2008

KETUHANAN YANG MAHA ESA = BELIEVE IN ONE GOD ?


 


 

Kebanyakan orang awam yang berpikir sederhana mengatakan terjemahan di atas pas, tapi sesungguhnya tidak mewakili semua keberagaman kebenaran yang diyakini bangsa Indonesia.

Menurut Oxford Pocket School Dictionary terbitan 2007, God didefinisikan: the creator of the universe in Christian, Jewish, and Muslim belief, atau god (awalan huruf kecil) didefinisikan: a male being that is worshipped.

Sedangkan bangsa Indonesia tidak hanya meyakini Islam & Nasrani saja, ada Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, kepercayaan turun-temurun dari leluhur suku-suku lokal, aliran-aliran kebatinan,& juga sinkretisme antara agama-agama & kepercayaan-kepercayaan tersebut. Pengikut-pengikutnya ada yang meyakini banyak dewa (gods) atau dewi (goddeses), roh-roh leluhur, arwah orang mati, makhluk gaib, sebagai tujuan doanya. Ada sebagian yang berkeyakinan bahwa perjuangan diri pribadi untuk membebaskan diri dari penderitaan & menjadi pribadi yang lebih baik tanpa bantuan God, gods, goddesses, atau makhluk-makhluk lainnya, berdasarkan pemahamannya yang lebih difokuskan pada manusia & hubungannya dengan mental spiritual, lingkungan sosial,& alam kehidupannya.

Fenomena keberagaman ini tidak akan pernah bisa diseragamkan oleh siapapun dengan hanya satu pemahaman yang diadopsi dari satu label agama yang dominan, ini akan menghancurkan bangsa itu sendiri & lembaga otoritas yang melabelkannya, karena penyeragaman menghentikan proses pertumbuhan & perkembangan masing-masing pribadi & lingkungan sosialnya secara alami. Hal ini bisa dibuktikan dengan fakta sejarah kemunduran bangsa-bangsa di Eropa di abad pertengahan yang gelap (the dark of middle ages) yang berlangsung 10 abad. Pada abad 5-15M, Gereja Katolik pra Reformasi menjadi lembaga yang paling berkuasa di atas raja-raja Eropa,& menjadi sumber kebenaran tertinggi bagi seluruh bangsa Eropa. Adanya pemikiran-pemikiran lain yang tidak sejalan dengan ajaran & peraturan Gereja dilarang berkembang, di masa ini terjadi banyak kekerasan & pembantaian orang-orang tak bersalah karena tuduhan sesat, bidaah,& kafir. Peradaban yang tinggi dari zaman Romawi dihancurkan bangsa-bangsa barbar yang picik, sehingga bangsa-bangsa Eropa berhenti dalam kemajuannya hampir di segala bidang. Kebodohan ini terus berlangsung & dijaga kaum penguasa & pimpinan Gereja demi kelangsungan pengaruh mereka untuk mempertahankan harta kekayaan & kekuasaan politik, orang-orang yang menemukan fenomena alam & hasilnya bertentangan dengan ajaran Gereja pada saat itu seperti Nicolaus Copernicus, Giordano Bruno, Galileo Galilei ditindas, dihukum seumur hidup atau dihukum mati. Kelompok Gereja Katolik akhirnya terpecah belah, separuh pendukungnya menjadi aliran-aliran lain karena berbeda pemahaman tentang ajaran Kristen yang berbaur dengan budaya Romawi berusaha dibakukan dengan bahasa Latin, perbedaan persepsi tentang ajaran & pengamalannya, praktek Gereja yang menindas & membunuh mereka yang berbeda pandangan, kemerosotan moral & tindakan korupsi para anggotanya,& pengaruh pembaharuan dari renaissance & aufklarung yang muncul akibat hubungan bangsa-bangsa Eropa dengan orang-orang Muslim pada masa kekhalifahan Cordoba di Spanyol, hingga masa perang Salib.

Di balik fenomena keberagaman itu, kita bisa memahami bahwa semuanya itu adalah sarana manusia untuk mencapai tujuan yang sangat mulia, yakni kebebasan mutlak manusia dari segala penderitaannya di dunia secara universal, ini juga berarti semua penjelasan sudah berakhir, karena hal ini sudah melampaui batasan-batasan pemikiran manusia biasa, ilusi-ilusi, & dogma-dogma yang menghalangi setiap pribadi untuk berproses menuju kebebasan tersebut. Maka, terjemahan yang mendekati maksud ini adalah "The One Transcendent Divinity".

Jika terjemahan ini menimbulkan ketidaksetujuan dari lembaga-lembaga keagamaan tertentu yang telah membakukan judul artikel ini (tentunya tanpa ? & pasti diakhiri ! ) sesuai dengan kitab sucinya, maka mereka sebaiknya menyadari keberatan dari lembaga-lembaga lain yang isi kitab sucinya tidak mungkin dipersamakan dengan miliknya. Jika siapa saja bersikukuh mengubah terjemahan tadi untuk praktisnya mudah dimengerti semua orang tanpa memahami realitas keberagaman, maka dia atau mereka seperti menceritakan indahnya pelangi kepada orang-orang buta.


 


 

 

ShoutMix chat widget