Kamis, 11 Desember 2008

BAGAIMANAKAH ORANG BISA MENDAPAT SELAMAT?


 


 

Account    illumination


 

SELAMAT itu bukan barang – bukan benda, bukan suatu bentuk atau corak yang dapat dibuat, dibeli, atau dicari.

Selamat itu "buah" atau hasil, atau akibat dari ketenangan batin manusia.

Manusia tidak bebas dari menghadapi segala macam kejadian, berbagai peristiwa dan mengalami rupa-rupa pengalaman yang dianggap enak atau tidak enak, senang atau tidak senang. Tapi bagi orang yang tenang dan tenteram batinnya, - semuanya itu tidak akan menggoncangkan hatinya, tidak membuat orang itu lupa daratan. Inilah suatu keselamatan.

Masing-masing orang mengharap dirinya bebas dari segala malapetaka, jauh dari segala gangguan dan godaan, terhindar dari semua yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Pada waktu-waktu tertentu memang harapan orang yang demikian tadi dapat tercapai. Tapi, karena tidak semua orang karmanya serupa, maka satu sama lain berbeda yang dialaminya. Dan meskipun bagaimanapun adanya perbedaan itu, asal saja batinnya mempunyai ketenangan dan ketentraman, maka kesemuanya itu dapat disambut dengan selamat.

Pada pokoknya orang sepatutnya mempunyai pengertian lebih dahulu. Pengertian itu mendatangkan rasa maupun sikap yang diam. Arti diam ini bukan orang yang tidak bekerja, orang yang tidak berjalan dan bergerak kaki tangannya. Bukan demikian apa yang dimaksudkan dengan diam itu.

Diam itu ialah pikirannya yang tidak memikirkan rumit-rumit, artinya lapang, lega, tidak terikat dengan apapun, tidak tergantung dengan kepercayaan-kepercayaan yang mencengkeramnya. Hasil daripada diam ini mendatangkan kesadaran. Kesadaran ini titik tolaknya keselamatan.

Banyak orang sudah menjadi salah mengerti mengenai "selamat" yang dicarinya.

Misalnya orang yang mempunyai "pengawal-pengawal" (bodyguard) , dia merasa terjamin keselamatannya. Tapi dia lupa, bahwa keselamatan yang sejati bukan badan raga terjaga oleh pengawal-pengawal itu (orang lain), melainkan dari nasibnya sendiri.

Seorang raja atau presiden misalnya, yang terluput dari sasaran penembakan yang ditujukan kepadanya, itu bukan sebab dia mempunyai pengawal yang sekian banyak melainkan nasibnya tidak mengijinkan dia mendapatkan bahaya. Oleh karena itu, sasaran-sasaran maut yang diarahkan kepadanya selalu meleset.

Jadi, menurut analisa yang benar yang membuat orang itu "selamat" atau "tidak selamat" bukan pengawal, bukan penjagaan orang lain, bukan jimat-jimat yang dibawanya, melainkan nasibnya sendiri tidak memolehkan dia menemukan celaka.

Nah, sekarang di sini kita menemukan nasib. Bagaimana nasib yang selamat itu?

Nasib itu pun "buah" yang disebutkan di atas tadi.

Bagaimana membentuknya nasib yang selamat itu, sehingga dapat bebas dari malapetaka yang dahsyat?

Mula-mula semua dari pengertian orang itu. Karena pengertiannya, orang itu mempunyai kesadaran. Dan sebab kesadarannya maka dia menjadi orang yang baik.

Kalau orang itu orang yang baik, maka dengan sendirinya nasibnya pun baik.

Orang tidak bisa menjadi orang yang baik tanpa pengertian yang baik.

Orang yang baik itu bikan orang yang tidak pernah berbuat jahat kepada orang lain. Orang yang baik itu ialah orang yang dapat berbuat baik kepada orang lain.

Tidak berbuat jahat kepada orang lain termasuk baik, tapi kebaikannya seperti "mati". Kebaikan yang "hidup" ialah kebaikan yang bergerak, berusaha, bekerja untuk orang lain, selain untuk dirinya sendiri.

Kebaikan itu bersifat "aktif". Oleh karena itu kebaikan bukan menjadi kebaikan yang sejati jika hanya "tidak berbuat apa-apa".

Dalam masyarakat kita terdapat banyak orang yang kebaikannya pasif. Tidak berbuat jahat, tapi tidak mau berbuat baik kepada sesamanya. Jadi baiknya masih bersifat "ke-aku-an". Ditinjau dari sudut pengertian yang benar, kebaikan begitu belum termasuk kebaikan yang dapat mendatangkan keselamatan.

Jika kita meneliti cara hidup orang-orang yang ada di sekeliling kita, ada banyak sekali yang bergantung dengan "aku"-nya, tapi selalu minta selamat, selamat, dan selamat. Apalagi kalau ada "apa-apa" yang dapat dimintai selamat, entah itu orang yang bergerak, entah itu bentuk ibadah, entah itu pemakaman kuno dan sebagainya, - permintaannya untuk keselamatan dirinya berulang-ulang diajukan, bahkan tanpa batas.

Marilah kita bayangkan sejenak bukankah perbuatan manusia yang demikian tadi menunjukkan kelemahan batinnya sendiri? Selain demikian, juga perbuatan minta-minta selamat dengan cara begitu bukan pada tempatnya, salah tafsirannya, keliru cara berpikirnya.

Insyaflah bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjelmakan masing-masing makhluknya sudah penuh dengan keselamatan.

Tapi karena makhlukNya itu tidak menuruti jalan Ketuhanan, melainkan menentangNya, maka bukan selamat yang diperoleh, melainkan sebaliknya, siapakah yang salah? Diri sendiri, bukan? Maka, agar manusia selamat dan selalu dalam lingkungan keselamatan, orang perlu mempunyai pengertian yang menggiring ke arah keselamatan itu.

Orang yang mengerti, memupuk hati baik (liang sim – Hokkian) atau dengan kata lain: budi. Budi ini menunjuk pada perjalanan hidup yang benar dan bajik, bersih dan jujur. Dia aktif untuk membuat kebaikan, pengabdian, sehingga hubungan manis di antara sesamanya diperhatikan dan dilaksanakannya. Orang yang demikian inilah orang yang baik dan pasti dengan sendirinya mempunyai nasib yang baik, maka keselamatan selalu mengikutinya.

Jadi jelas dan tegas, kalau orang mau mendapat selamat , tidak usah mencari jauh-jauh – tidak perlu membakar dupa wangi di atas gunung, kata Lao Tze - haruslah menyadari diri sendiri melaksanakan kebaikan yang nyata.


 


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.9 tahun ke I (1970)

Tidak ada komentar:

 

ShoutMix chat widget