Jumat, 26 Desember 2008

THEOKRASI TIDAK MENJAMIN KESELAMATAN UMAT MANUSIA


 


 

Account    illumination


 

Sebagian dari kita saat ini sedih, susah, kecewa, frustasi, marah, dan tidak mempunyai perasaan-perasaan negatif lainnya ketika berhadapan dengan situasi negara dan bangsa yang makin kacau balau, dilanda krisis yang kompleks, dan selalu mengalami bencana. Banyak orang-orang telah menyakiti diri sendiri, keluarga, orang lain demi mengejar pemuasan nafsu dan kebencian mereka sendiri, karena telah ditutupi ketidaktahuan (kebodohan) yang dibungkus dengan khayalan-khayalan duniawi.

Teinspirasi kebangkitan-kebangkitan para suci, nabi, dan guru besar masa lalu lewat ajaran-ajaran yang turun temurun dalam agama kita masing-masing, sebagian dari kita beranggapan bahwa situasi ini harus diubah dengan membangun tatanan baru, yang berasal dari doktrin ajaran-ajaran agama yang kita yakini sesuai dengan kedalaman pemahaman kita masing-masing. Sayangnya, di negara ini banyak orang yang mempunyai jalan yang berbeda-beda dan mengikutinya dengan pemahaman yang berbeda-beda kedalamannya dan kepentingannya, jika ide ini dilaksanakan, satu negara ini pasti terpecah belah menjadi banyak negara-negara kecil. Jika negara kecil ini hidup nantinya, belum tentu bisa berdaulat seperti halnya negara besar yang kuat dan kaya. Belum lagi, rakyatnya pasti mengalami banyak kesusahan dan penderitaan, karena otomatis akan kehilangan keluarganya, harta bendanya, pekerjaannya, bisnisnya, dan kebebasannya, karena di negara yang baru, para pemimpinnya membuat, melaksanakan, dan mengadili orang-orang lebih kejam lagi, karena mereka tidak mentolerir keyakinan sekelompok minoritas yang berbeda, kecuali ada sekelompok pemimpin yang berpengaruh kuat melindungi dan menjaganya, tergantung kadar kepentingannya.

Apakah perlakuan penguasa bisa lebih adil kepada rakyatnya yang homogen? Belum tentu, keadilan berada di tangan para penguasa religius, pendeta atau imam atau kepala ulama tertinggi, raja atau kaisar yang menjadi dewa hidup atau wakil Tuhan, atau dewan tetua pemuka agama. Pihak penguasa juga punya keterbatasan untuk menangani masalah-masalah, karena tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan tuntas dalam hukum agama, biasanya dengan menjaga kepentingannya maka keluar agama itu didesain untuk menjaga dan memelihara keberlangsungan kekuasaan mereka tanpa memperhitungkan kesalahan-kesalahan atau kegagalan mereka. Jadi, mereka mengkomunikasikan diri sebagai sosok sempurna walaupun kenyataannya mereka hanyalah manusia biasa. Atau mereka mengkomunikasikan diri sebagai penjaga kebenaran sejati yang menurut mereka sendiri paling benar (berarti yang lainnya salah semua).jika ada orang atau pihak lain yang menentang mereka, tentu mereka pasti akan dikucilkan, disingkirkan, disiksa, dipenjara, atau dibunuh agar tidak mempengaruhi rakyat untuk mengikuti sikapnya.

Jika pemerintah yang menguasai negara itu bisa menjalankan tugasnya menurut prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan yang universal, maka pemerintah yang theokratis ini hampir berhasil membuat rakyatnya hidup lebih baik. Namun, biasanya mereka lemah dalam pertahanan terhadap ancaman serangan bangsa atau negara lain yang lebih agresif. Prinsip kemanusiaan yang naif sangat dijunjung tinggi oleh bangsa itu, sehingga tidak memperkenankan pemerintahnya memperkuat pertahanan militernya, ekonomi, sosial, dan budayanya. Pemerintahan semacam itu pasti akan mudah dikuasai atau dihancurkan bangsa atau negara lain yang lebih licik, lebih kuat, dan lebih kejam.

Bahkan pemerintahan yang paling kuat pertahanannya di segala bidang tidak juga terjamin kelangsungannya jika oknum-oknum dalam pemerintahan itu mulai korup dan menjalankan politiknya sendiri demi kepentingannya. Ini dapat menimbulkan pengkhianatan yang sangat dahsyat daya merusaknya daripada perang besar atau bencana alam.

Bila pemerintah gagal mempertahankan hidupnya, maka rakyat pasti hidup dalam kekacauan. Tidak ada yang memimpin mereka, dan orang-orang pasti saling menyakiti sesamanya demi kelangsungan kehidupan mereka. Negaranya terpecah belah menjadi negara-negara yang lebih kecil, lebih lemah, dan gampang dikendalikan negara-negara yang kuat.

Satu gambaran yang sangat tragis, bahwa ternyata sejak jaman Mesir kuno, sistem theokrasi menempatkan Pharaoh sebagai penguasa tertinggi yang dijunjung para pendetanya tumbuh menguat di atas penderitaan rakyat. Hal yang sama terjadi dengan sistem kapitalisme murni yang menempatkan uang di puncak tertinggi di bawah para penguasanya yang diperkuat oleh para pemuka agama, para prajurit, dan pemodalnya menindas rakyat kecil habis-habisan. Jadi, sebenarnya praktek menyimpang dari para pendeta atau pemuka agama sebagai pendukung pemerintah yang menjalankan sistem ekonomi model demikian yang menyebabkan kesengsaraan dan kekacauan rakyat. Jika pikiran mereka dimotivasi penumpukan kekayaan semata dengan menggunakan tameng religius itulah yang harus ditentang, bukan ajaran agamanya. Karena setiap agama dari manapun asal atau waktu timbulnya pada hakikatnya tidak membenarkan orang menindas, menyakiti, bahkan membunuh sesamanya, dengan memaksa orang bekerja keras dengan bayaran sedikit demi melangsungkan hidup mewah para boss.

Kamis, 11 Desember 2008

K A R M A


 


 

Account    illumination


 

                    Oleh: M.C.


 

Anggaplah bersama-sama saya bahwa hidup seseorang ialah suatu tali yang membentang dari Keabadian sampai ke Keabadian, dan tidak mempunyai ujung pangkal dan tiada permulaan, tali itu juga tidak dapat diputuskan.

Tali ini dibentuk dari benang-benang halus yang amat banyak, yang terjalin sangat rapat, membentuk ketebalannya.

Benang-benang ini tidak berwarna, sempurna dalam kualitasnya, dilihat dari kelurusan, kekuatan, dan ratanya permukaan benang itu.

Tali ini, melalui sebagaimana layaknya melintasi semua tempat-tempat, menderita insiden yang ganjil.

Selembar benang seringkali tertangkap dan menjadi tersangkut, atau barangkali hanya tertarik keluar secara paksa dari keselarasannya.

Kemudian, untuk suatu waktu yang lama dia menjadi kusut dan dia mengacaukan semuanya.

Kadang-kadang seseorang ternoda dengan kotoran atau warna, dan bukan saja noda itu merambat lebih jauh dari tempat yang ternoda itu, tetapi dia melunturkan benang-benang lainnya.

Dan ingatlah bahwa benang-benang itu hidup - seperti kawat listrik, terlebih lagi, seperti urat-urat saraf yang bergetar.

Lalu, berapa jauhkah noda itu menyebar, bilur miring itu harus diberitahukan!

Tetapi akhirnya tali yang panjang itu, benda-benda yang hidup di dalam hubungan yang sambung menyambung itu membentuk sang individu, melintasi bayang-bayangan ke dalam cahaya.

Kemudian benang-benang itu tidak transparan lagi, tetapi berwarna keemasan, sekali lagi benang-benang itu terletak bersama-sama, rata.

Sekali lagi harmoni telah didirikan di antara mereka; dan dari harmoni yang berada di dalamnya; harmoni yang lebih besar lagi dapat dirasakan.

Contoh ini menunjukkan suatu bagian kecil saja – suatu segi tunggal dari sang kebenaran itu; yaitu lebih kurang dari sebuah kutipan/fragmen.

Namun, renungkanlah padanya, oleh bantuannya anda dapat dituntun untuk merasakan lebih banyak lagi.

Yang perlu pertama-tama untuk mengerti adalah bukannya masa depan itu sekehendak hati dibentuk oleh perbuatan-perbuatan terpisah dari masa kini, tetapi bahwa keseluruhan dari masa depan itu di dalam hubungan yang kontinyu dengan masa kini, sebagaimana masa kini dengan masa lampau.

Pada satu tahapan/alam, dari satu sudut pandang, contoh tali ini benar.

Telah dikatakan ahwa suatu perhatian sedikit terhadap Kebatinan mmenghasilkan akibat-akibat karma yang besar.

Ini disebabkan adalah tidak mungkin untuk memberikan setiap perhatian terhadap Kebatinan tanpa membuat suatu pilihan pasti antara yang biasanya disebut baik dan buruk itu.

Langkah pertama dalam Kebatinan membawa sang siswa itu pada pohon dari pengetahuan.

Ia harus memetik dan makan, ia harus memilih. Tiada lagi ia arif terhadap kebimbangan dari kebodohan batin (ketidaktahuan) itu.

Ia pergi terus, baik pada sang jalan kebaikan atau pada jalan kejahatan. Dan untuk melangkahkan kaki secara pasti dan dengan sengaja bahkan hanya satu langkah pada salah satu jalan menghasilkan akibat-akibat karma agung.

Sejumlah besar manusia berjalan ragu-ragu, tidak pasti: seraya mereka itu menuju pada tujuannya; ukuran hidup mereka tidak pasti; karenanya karma mereka berjalan di dalam suatu cara yang kacau.

Tetapi bilamana sekali ambang pintu dari pengetahuan telah dicapai, kekacauan itu mulai berkurang dan akibatnya buah-buah karma bertambah membesar, sebab semuanya sedang berproses pada arah yang sama pada semua tingkat-tingkat/alam-alam yang berbeda itu, untuk praktisi kebatinan tidak dapat setengah hati, juga ia tak dapat kembali bilamana ia telah melewati ambang pintu itu.

Hal-hal ini tidak mungkin seperti halnya seseoarang harus menjadi anak kecil.

Kepribadian telah mendekati keadaan pertanggungjawaban yang disebabkan pertumbuhan; itu tidak dapat ditarik kembali dari situ.

Dia yang ingin lepas dari ikatan karma harus meningkatkan kepribadiannya keluar dari bayang-bayangan ke dalam cahaya, harus demikian mengangkat kehidupannya sehingga benang-benang ini tidak terkena kekotoran/ noda-noda benda duniawi, tidak menjadi demikian terikat sehingga ditarik miring.

Ia hanya mengangkat dirinya sendiri keluar dari daerah di dalam di mana sang karma itu bekerja.

Ia tidak meninggalkan kehidupan yang sedang dialaminya disebabkan hal itu. Tanah itu boleh jadi kasar dan kotor, atau penuh dengan bunga-bunga subur di mana tepung sarinya bernoda, dan dari benda-benda yang manis, yang melekat, dan menjadi terikat – tetapi di atas kepala selalu terdapat angkasa bebas.

Ia yang ingin menjadi tanpa karma harus melihat pada hawa udara untuk tempat tinggal dan setelah itu pada ether.

Ia yang ingin membentuk karma baik akan bertemu dengan banyak kekacauan dan di dalam usaha menaburkan biji subur untuk penuaiannya sendiri akan menanam seribu rumput-rumput, dan di antaranya rumput raksasa.

Inginkanlah untuk menabur bukan biji untuk penuaian anda sendiri; inginkanlah hanya menabur biji itu buah mana akan memberi makan pada dunia.

Anda adalah sebagian dari dunia di dalam memberikannya makanan anda memberi makan pada anda sendiri.

Namun di dalam hanya pikiran ini, di situ mengintai suatu bahaya besar yang mulai maju ke depan dan menghadap sang murid yang untuk sekian lamanya telah memikirkan dirinya sendiri bekerja untuk kebaikan, sementara di dalam jiwanya yang paling dalam itu ia telah merasakan hanya kejahata; bahwa ia telah memikirkan dirinya sendiri untuk bermaksud menjadi berguna besar terhadap dunia, sementara ia teus menerus secara tak sadar telah memeluk pikiran dari karma itu; dan keuntungan besar yang ia lakukan adalah untuk dirinya sendiri.

Seseorang dapat menolak untuk membiarkan dirinya sendiri untuk memikirkan tentang imbalan. Tetapi di dalam penolakan itupun telah terlihat fakta bahwa imbalan telah diinginkan.

Dan adalah percuma untuk sang siswa untuk berusaha belajar dengan perantaraan meneliti dirinya sendiri.

Sang jiwa harus terlepas dari kungkungan keinginan bebas. Tetapi hingga mereka menetap hanya pada keadaan itu di dalam di mana di situ tiada imbalan tiada hukuman, baik atau jahat adalah sia-sia yang diusahakannya.

Ia boleh jadi kelihatannya membuat kemajuan besar, tetapi pada suatu hari ia akan datang berhadapan muka dengan jiwanya sendiri, dan akan mengenal kembali bahwa ketika ia datang pada sang pohon pengetahuan itu ia memilih buah yang pahit dan bukan buah yang manis, dan kemudian tabir itu akan jatuh sama sekali, dan ia akan menyerahkan kemerdekaannya dan menjadi seorang budak dari sang keinginan.

Sebab itu berhati-hatilah, anda yang hanya berbelok menuju pada kehidupan daripada Kebatinan.

Pelajarilah sekarang bahwa tiada obat untuk keinginan, tiada obat untuk kecintaan terhadap imbalan, tiada obat untuk kesedihan dari kerinduan, terkecuali di dalam menetapkan dari penglihatan dan pendengaran terhadap itu yang tak tertampak dan tak bersuara.

Mulailah bahkan sekarang untuk mempraktekannya, dan dengan demikian seribu ular akan dihindarkan dari jalan anda.hiduplah dalam keabadian.

Berlakunya dari hukum-hukum karma sebenarnya tidak dapat dipelajari sehingga sampai sang siswa itu telah mencapai titik di mana mereka tiada lagi mempengaruhi dirinya sendiri.

Seorang yang telah mendapatkan diksa (pentahbisan/inisiasi) mempunyai hak untuk menuntut rahasia-rahasia dari alam untuk mengetahui aturan-aturan yang memerintah kehidupan manusia.

Ia mendapatkan hak ini dengan terlepas dari batas-batas dari alam dan oleh pembebasan dirinya sendiri dari aturan-aturan yang memerintah kehidupan manusia.

Ia telah menjadi suatu bagian yang dikenal dari unsur Ilahi dan tiada lagi terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sementara itu.

Sebab itulah, anda yang menginginkan untuk mengerti hukum-hukum dari karma usahakanlah pertama-tama untuk membebaskan anda sendiri dari hukum-hukum ini; dan ini hanya dapat dilakukan dengan menetapkan perhatian anda kepada apa-apa yang tidak terpengaruh hukum-hukum itu.


 

            (Light on the Path)


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.7 tahun ke I (1970)

BAGAIMANAKAH ORANG BISA MENDAPAT SELAMAT?


 


 

Account    illumination


 

SELAMAT itu bukan barang – bukan benda, bukan suatu bentuk atau corak yang dapat dibuat, dibeli, atau dicari.

Selamat itu "buah" atau hasil, atau akibat dari ketenangan batin manusia.

Manusia tidak bebas dari menghadapi segala macam kejadian, berbagai peristiwa dan mengalami rupa-rupa pengalaman yang dianggap enak atau tidak enak, senang atau tidak senang. Tapi bagi orang yang tenang dan tenteram batinnya, - semuanya itu tidak akan menggoncangkan hatinya, tidak membuat orang itu lupa daratan. Inilah suatu keselamatan.

Masing-masing orang mengharap dirinya bebas dari segala malapetaka, jauh dari segala gangguan dan godaan, terhindar dari semua yang mengkhawatirkan dan menakutkan. Pada waktu-waktu tertentu memang harapan orang yang demikian tadi dapat tercapai. Tapi, karena tidak semua orang karmanya serupa, maka satu sama lain berbeda yang dialaminya. Dan meskipun bagaimanapun adanya perbedaan itu, asal saja batinnya mempunyai ketenangan dan ketentraman, maka kesemuanya itu dapat disambut dengan selamat.

Pada pokoknya orang sepatutnya mempunyai pengertian lebih dahulu. Pengertian itu mendatangkan rasa maupun sikap yang diam. Arti diam ini bukan orang yang tidak bekerja, orang yang tidak berjalan dan bergerak kaki tangannya. Bukan demikian apa yang dimaksudkan dengan diam itu.

Diam itu ialah pikirannya yang tidak memikirkan rumit-rumit, artinya lapang, lega, tidak terikat dengan apapun, tidak tergantung dengan kepercayaan-kepercayaan yang mencengkeramnya. Hasil daripada diam ini mendatangkan kesadaran. Kesadaran ini titik tolaknya keselamatan.

Banyak orang sudah menjadi salah mengerti mengenai "selamat" yang dicarinya.

Misalnya orang yang mempunyai "pengawal-pengawal" (bodyguard) , dia merasa terjamin keselamatannya. Tapi dia lupa, bahwa keselamatan yang sejati bukan badan raga terjaga oleh pengawal-pengawal itu (orang lain), melainkan dari nasibnya sendiri.

Seorang raja atau presiden misalnya, yang terluput dari sasaran penembakan yang ditujukan kepadanya, itu bukan sebab dia mempunyai pengawal yang sekian banyak melainkan nasibnya tidak mengijinkan dia mendapatkan bahaya. Oleh karena itu, sasaran-sasaran maut yang diarahkan kepadanya selalu meleset.

Jadi, menurut analisa yang benar yang membuat orang itu "selamat" atau "tidak selamat" bukan pengawal, bukan penjagaan orang lain, bukan jimat-jimat yang dibawanya, melainkan nasibnya sendiri tidak memolehkan dia menemukan celaka.

Nah, sekarang di sini kita menemukan nasib. Bagaimana nasib yang selamat itu?

Nasib itu pun "buah" yang disebutkan di atas tadi.

Bagaimana membentuknya nasib yang selamat itu, sehingga dapat bebas dari malapetaka yang dahsyat?

Mula-mula semua dari pengertian orang itu. Karena pengertiannya, orang itu mempunyai kesadaran. Dan sebab kesadarannya maka dia menjadi orang yang baik.

Kalau orang itu orang yang baik, maka dengan sendirinya nasibnya pun baik.

Orang tidak bisa menjadi orang yang baik tanpa pengertian yang baik.

Orang yang baik itu bikan orang yang tidak pernah berbuat jahat kepada orang lain. Orang yang baik itu ialah orang yang dapat berbuat baik kepada orang lain.

Tidak berbuat jahat kepada orang lain termasuk baik, tapi kebaikannya seperti "mati". Kebaikan yang "hidup" ialah kebaikan yang bergerak, berusaha, bekerja untuk orang lain, selain untuk dirinya sendiri.

Kebaikan itu bersifat "aktif". Oleh karena itu kebaikan bukan menjadi kebaikan yang sejati jika hanya "tidak berbuat apa-apa".

Dalam masyarakat kita terdapat banyak orang yang kebaikannya pasif. Tidak berbuat jahat, tapi tidak mau berbuat baik kepada sesamanya. Jadi baiknya masih bersifat "ke-aku-an". Ditinjau dari sudut pengertian yang benar, kebaikan begitu belum termasuk kebaikan yang dapat mendatangkan keselamatan.

Jika kita meneliti cara hidup orang-orang yang ada di sekeliling kita, ada banyak sekali yang bergantung dengan "aku"-nya, tapi selalu minta selamat, selamat, dan selamat. Apalagi kalau ada "apa-apa" yang dapat dimintai selamat, entah itu orang yang bergerak, entah itu bentuk ibadah, entah itu pemakaman kuno dan sebagainya, - permintaannya untuk keselamatan dirinya berulang-ulang diajukan, bahkan tanpa batas.

Marilah kita bayangkan sejenak bukankah perbuatan manusia yang demikian tadi menunjukkan kelemahan batinnya sendiri? Selain demikian, juga perbuatan minta-minta selamat dengan cara begitu bukan pada tempatnya, salah tafsirannya, keliru cara berpikirnya.

Insyaflah bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjelmakan masing-masing makhluknya sudah penuh dengan keselamatan.

Tapi karena makhlukNya itu tidak menuruti jalan Ketuhanan, melainkan menentangNya, maka bukan selamat yang diperoleh, melainkan sebaliknya, siapakah yang salah? Diri sendiri, bukan? Maka, agar manusia selamat dan selalu dalam lingkungan keselamatan, orang perlu mempunyai pengertian yang menggiring ke arah keselamatan itu.

Orang yang mengerti, memupuk hati baik (liang sim – Hokkian) atau dengan kata lain: budi. Budi ini menunjuk pada perjalanan hidup yang benar dan bajik, bersih dan jujur. Dia aktif untuk membuat kebaikan, pengabdian, sehingga hubungan manis di antara sesamanya diperhatikan dan dilaksanakannya. Orang yang demikian inilah orang yang baik dan pasti dengan sendirinya mempunyai nasib yang baik, maka keselamatan selalu mengikutinya.

Jadi jelas dan tegas, kalau orang mau mendapat selamat , tidak usah mencari jauh-jauh – tidak perlu membakar dupa wangi di atas gunung, kata Lao Tze - haruslah menyadari diri sendiri melaksanakan kebaikan yang nyata.


 


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.9 tahun ke I (1970)

SAYURANISME DAN KEBATINAN


 


 

Account    illumination


 

                OLEH: MISS SOPHIA DEVI

Seorang sayuranis atau pemakan sayur mayur, ciak chay, vegetarian adalah seorang yang pantang makan makanan yang berasal dari hewan (daging, ikan, ayam, udang, dll) tapi hanya nasi dengan sayur mayur, kacang-kacangan, buah-buahan. Dan sebagai gantinya protein hewan itu diambil dari telur, susu, tahu, dan tempe.

Seorang pengikut kebatinan ialah seorang yang mencoba menginjakkan kakinya pada Sang "Jalan" yang menuju pada Ketuhanan dengan membersihkan batinnya (pikiran, perasaan, perkataan, dan perbuatannya) hingga sifat-sifat Ilahi itu dapat bersinar-sinar di sekelilingnya.

Perkataan kebatinan sering juga digandengkan dengan perkataan spiritual, kejiwaan, kerohanian, dan kepercayaan yang artinya hampir bersamaan dan saling mengisi.

UUD'45 kita menghendaki supaya kita semua bukan saja menuju kepada kebahagiaan material, tapi juga spiritual (lahir batin).

Para ahli kebatinan baik jaman dahulu kala hingga sekarang ini; semuanya mengetahui dengan pasti bahwa orang yang sehari-harinya mengejar kekayaan duniawi belaka tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual, maka pada akhirnya mereka itu akan menderita juga; baik secara mental maupun secara fisik.

Bagi mereka yang tidak mengerti atau tidak mau mengerti tentang hukum-hukum alam (hukum-hukum Ketuhanan) yang berlaku (hukum karma (sebab akibat), hukum tumimbal lahir (reinkarnasi), hukum perubahan (evolusi)) tentu akan menderita/sengsara terhadap goncangan-goncangan hidup pribadi, keluarga, masyarakat, dan dunia.

Itu semua disebabkan mereka tidak mengerti duduknya persoalan, lantaran kebodohan atau tidak tahu tentang hukum-hukum alam tadi.

Dalam sepak terjangnya sehari-hari untuk mengejar kekayaan, nama, pangkat, mereka tidak mempedulikan hukum-hukum itu sehingga tidak jarang mereka sikut kiri, tendang kanan, suap sini, peras sana dan akhirnya berurusan dengan KPK sebab harta yang diperolehnya itu tidak halal alias korupsi.

Sang Buddha mengatakan bahwa manusia lahir di dunia adalah "sengsara" (bagi yang tidak mengerti). Tanda-tandanya kesengsaraan itu ialah: begitu sang bayi lahir sudah menangis! (sebab ia akan menjalani kesengsaraan di dunia ini?)

Sang ibu yang berbahagia itu mengandung bayi selama 9 bulan 10 hari dengan penuh kesengsaraan dan waswas, hingga saat melahirkannya. Meskipun orangtua tadi merasa berbahagia mendapatkan anaknya, - bayi itu-, namun dalam kebahagiaan tadi juga diiringi kekhawatiran akan tidak mampu menjaga anaknya dengan memberikan pendidikan secukupnya di kemudian hari. Sewaktu anak tadi menderita kesakitan, orangtua khawatir, ini bentuk kesengsaraan.

Pada saat-saat anak itu akan masuk TK, SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, ayah ibunya sangat pusing kepalanya untuk memikirkan biaya pendidikan, juga sengsara.

Anak tadi gagal, kuliahnya berhenti di tengah jalan, juga sengsara. Cari pekerjaan atau jodoh tidak dapat-dapat. Tidak mendapatkan yang dicita-citakan; pemutusan hubungan kerja (phk); putus cinta; takut kehilangan apa-apa yang telah dimiliki (harta benda, kedudukan, popularitas); berkumpul dengan orang-orang yang tidak cocok pemikirannya; kehilangan yang dicintai; takut mati (meninggal dunia), adalah juga rentetan kesengsaraan.

Kalau kita pandang kesemuanya itu dari lahir hingga mati adalah selalu sengsara saja. Demikianlah sabda Sang Buddha, yang bagi orang yang tidak mengerti dianggap sebagai ajaran "pesimis".

Sedangkan menurut ajaran Ogamisama, yang mengamil intisari ajaran-ajaran Buddha, Kristus, Yoga, hingga bersifat umum, telah memberikan kuncinya mengapa kita ini selalu sengsara, yakni disebabkan enam akar kejahatan yang harus kita tebas setiap hari, hingga sang jiwa dapat bersinar-sinar, yaitu:

-penyesalan

-keinginan

-kebencian

-kecanduan atau ekstrimitas

-mencintai berlebih-lebihan

-ingin dicintai

Inilah yang menyebabkan kita berbuat jahat/ dosa.

Penyesalan dan keinginan berarti keserakahan dan sangat terikat pada segala hal. Kebencian dan kesukaan berarti pikiran-pikiran tentang suka dan tidak suka, mencintai kelewat batas dan ingin didewa-dewakan.

Inilah sebab-sebabnya kesengsaraan yang harus kita sadari setiap detik.

Mengapa bagi orang-orang yang mendalami kebatinan kesengsaraan itu semua tidak dirasakan/dihiraukannya, malahan tenang-tenang saja dengan gembira menghadapi Sang Hidup ini?

Tidak lain rahasianya mereka itu mengetahui kunci rahasianya hukum-hukum alam ini, bahwa benda-benda keduniawian ini meskipun faktanya ada, tapi pada dasar psikologisnya adalah Maya (bayangan tidak kekal) belaka. Sebagai contoh orang yang tinggal di bawah kolong jembatan tetap gembira, tidak menderita tekanan batin.

Sedangkan orang kaya tinggal di gedung mentereng tapi terus menerus menderita tekanan batin, tidak puas, tidak mengenal batas-batasnya keinginan, mobil satu minta dua dan seterusnya.

Kaum kebatinan mengetahui bahwa kita manusia ini terlibat dalam "ruang dan waktu". Sebab "ruang dan waktu" inilah yang menimbulkan dualisme, yaitu siang-malam, hidup-mati, susah-senang, kaya-miskin, dan sebagainya.

Dualisme inilah yang menimbulkan sengsara, umpamanya: kita ingin kaya, ingin pandai, ingin menjadi apa-apa, ingin titel/gelar/pangkat, ingin melancong ke tempat jauh atau luar negeri, dan lain sebagainya.

Itu semua membutuhkan "ruang dan waktu". Sedangkan kita tadi sudah mengetahui bahwa "ruang dan waktu" itu adalah sengsara.

Tapi sebaliknya bilamana kita "tidak ingin" mencapai/menjadi sesuatu, tetapi hanya "JALAN" saja, tanpa mengharap-harapkan hasilnya atau apa adanya tentu kita tidak akan sengsara.

Sebab berhasil atau gagal itu bukanlah "tujuan" kita, sebab itulah "fakta hasil atau gagal" tadi tidak akan mempengaruhi batin kita.

Bilamana kita sudah mengetahui kuncinya dan menjalaninya sehari-hari, maka kita sudah menjadi mengerti – sadar – bijaksana, dan mengerti tujuan hidup ini serta dapat pula memecahkan segala persoalan dunia – akhirat, teguh menempuh topan badai kehidupan demi kemajuan Sang Jiwa, neraka dunia menjadi surga dunia.

Sekarang kita kembali kepada "sayuranisme". Apakah sayuranis ada hubungan dengan hidup secara kebatinan? Untuk orang-orang yang ingin memulai dengan hidup kebatinan tentu ada hubungan dengan sayuranisme.

Kalau kita tinjau agama-agama yang menganjurkan hidup bersih/suci, mulai dari yang agak lunak hingga yang sangat keras dengan sayuranis adalah:

-agama Katolik Roma menganjurkan umatnya tiap-tiap hari Jumat tidak makan daging.

-agama Kristen Protestan Advent menganjurkan umatnya tidak makan daging, merokok, minum minuman keras, berpuasa dan lain sebagainya.

-Buddha Mahayana di China lebih keras lagi; telur, susu, bawang, cabe, tidak boleh dikonsumsi sebab mengganggu meditasi.

-kaum Yogi menganjurkan sering-sering berpuasa, sayuranis, hidup bersih, dan lain-lain.

Kaum kebatinan telah menyelidiki bahwa daging itu mempunyai getaran-getaran magnet yang kasar tercampur dengan getaran ketakutan dan penasaran waktu hewan ternak itu disembelih. Sebab itu menghambat latihan-latihan dalam membina pribadi/batin kita, terutama dalam masalah kepekaan.

Kaum theosofi yang serius (esoteric group) tidak makan daging atau sayuranis disebabkan prinsipnya "persaudaraan universal" termasuk hewan-hewan sebagai saudara mudanya (muda dalam arti evolusi).

Ada orang yang menjalankan sayuranis disebabkan beberapa faktor:

-sedari kecil diasuh oleh lingkungan keluarga yang sayuranis

-atas kemauan sendiri yang timbul dari dalam dirinya (wajar).

-atas kesadaran sendiri, atas nilai-nilai kebersihan dan persaudaraan.

-terpengaruh anjuran agama/buku/organisasi/guru yang dianutnya.

-ikut-ikutan orang lain, tanpa kesadaran pribadi (pura-pura, ingin disebut orang suci?)

Mengapa sayuranisme itu dianjurkan oleh kaum kebatinan bagi mereka yang melangkahkan kakinya pada Sang Jalan itu? Tidak lain maksudnya agar orang-orang itu dengan mengurangi nafsu-nafsu rendah/kasar itu akan aman dalam perjalanannya nanti, untuk mencapai suatu tingkatan batin, umpamanya: cinta kasih, welas asih, gembira, ketenangan. Ini semua termasuk dalam pembentukan watak pribadi seseorang (character building).

Ada beberapa guru kebatinan yang telah mencapai fase-fase tertentu telah melepaskan sayuranisme dengan alasan sudah dapat menguasai badannya. Ada yang juga disebabkan kesehatan badannya terganggu atau tidak memerlukan kepekaan lagi demi hidup dengan keluarganya. Ada juga yang disebabkan kesulitan anggota keluarga yang memasaknya atau di tempat mereka menumpang, dan lain-lain sebagainya sebagai faktor penghalang.

Sebaliknya ajaran Ogamisama dan Buddha Hinayana (Theravada) tidak menganjurkan sayuranisme. Banyak bhikkhu-bhikkhu di Srilangka, Myanmar, Thailand, Kamboja, Jepang tidak sayuranis.

Sedangkan orang-orang Hindu yang tidak sayuranis hanya mengkonsumsi udang, ikan, daging ayam yang masih segar atau Sattwis. Dan lauk pauk yang sudah menginap satu malam , tidak boleh dimakan sebab dianggap barang yang tamas (busuk, malas, tak ada vitaminnya lagi).

Penulis menyimpulkan bahwa sayuranisme dan hidup kebatinan, terserah pada masing-masing orang untuk melaksanakannya dalam lingkungan di mana ia hidup tanpa paksaan (bebas) dan menggunakan kebijaksanaan. Selamat berjuang hingga nafas yang penghabisan.


 

 

ShoutMix chat widget