Rabu, 19 November 2008

WHAT IS BETTER, OBEDIENCE OR SINCERITY?


 


 

Account    illumination


 

I was a child that was hard to obey my parents. I have refused their orders since I was small until I'm grown up now.

Social norms oblige every child to obey their parents. Those norms are derived from our eastern tradition, teachings of religions, and educations of schools.

Consequences that I got as causes of disobediences deserved to punishments. In my childhood my ears were often pulled, my face was slapped, my body was often hit by using rattan stick, and my mouth was rubbed by using chili. I was kept in dark warehouse. I also got mental punishment, my right to enjoy playing, watching TV, and some child's pleasures were banned, being cursed viciously that has broken my heart, like saying some taboo words, some regrets because of my deeds, negative hopes for my misfortune or even my death, followed by some claims on their sacrifices for my birth, feeding, taking care, educating, and everything I deserved to have it as their child. Then, they punished me with negative predicates and they have done it over and over again in their lifetimes, and have terrified me to prevent of being fought.

I have grown to be a difficult person because of their mental punishments. I wanted to commit suicide, luckily I didn't make it, but my broken heart couldn't be fixed when my parents were facing their problems that didn't related to me, but I was abused till the bitter end. I felt tortured and deeply grieved of their abuses as the same as slavery. They rejected my protests, with a classical reason of sacrifice that they had claimed above.

It is reasonable- indeed, that a Great Guru in the past had told us that we could never pay all our parents' sacrifices in anything and any actions. Listening that, his followers even had regretfully expressed that was better they being sadistic tortured in hell than they tortured their parents.

Then I got complicated contradiction. For many years I has lived between hatred and regret, and confused of those mess feelings. Of course these negative memories have accumulated and influenced my personality. I was bad tempered, stubborn, pessimist, and I make mistake repeatedly. My thoughts were such a mess, my meditation couldn't mend my personality, even make me get worse.

When I was grown up, my parents told their bad experiences with each their parents in their childhoods. They had same experiences like me, and I got reasonable explanations about it from books, seminars, and true story films.

Slowly but sure, I began to understand about my parents' weakness as ordinary persons, not as being regarded as gods according eastern traditions that being misunderstood by them who did it. It wasn't meaning my parents changed into extremely well persons; of course they have still got old behaviors, but haven't been cruel like in the past.

I understood that they had undergone brainwashing process by each of their parents in their childhoods. Hearing my grandparents' stories of their cruelties, I felt that they were angry with me, meant they weren't existing 100% in that time, my grandparents existed and were angry with me.

From here I began to realize myself. I wanted to do some good things for my parents but I felt their authority pressure that noticed they wanted to overcome me. I believed that their motivation for my safety too, but they did wrong. I tried to change their thoughts but I totally failed. I make efforts to change myself, and I failed too. I was almost desperate and wanted to run away, but I was conscious that couldn't solve the problem.

I often contemplated, what did I need from my relationship with my parents? Did I need my compensation for my safety then? Did I deserve to behave politely to respect my parents while in my heart anger has been happening for many years abuses? I felt they didn't have me at all, because they failed to understand me at all.

Fortunately, I was relieved by reading these wise sentences that has inspired me:

"Someone indeed is master of oneself,

Who else could other master be?

With someone is perfectly trained,

Someone obtains a refuge hard to gain."

"By diligence, vigilance, restraint and self-mastery,

Let the wise make for him/her an island that no flood can overwhelm."

Then, I have been ready to face the bad moments with my parents. I have been conscious they wouldn't be angry for 24 hours. Because they would be weary after an hour of anger. I preferred to stay silent and not to talk to them for some days and just talk to them properly. Finally, I felt a change in myself without making any efforts.

I realized I could never know what they thought and felt, the important thing was I cared them y my own way. I decided my moods; I deeply appreciated and respected them with my deeds without feelings of vengeance. It was hard in the beginning, but I have decided to train myself to do that.

Then, I spent much times for contemplations, and didn't make efforts to be someone else. I even didn't want to marry someone for my filial piety, and I thought my brother and my sister could continue our family's descendants. I still felt vengeance glowing coals haven't extinguished yet, it would be burning me, my wife, and my children later. What is the usage of having family if I will continue cruelties to my indecent wife and children in the future like my ancestors did in the past?

I have known that me is good in real, and that vengeance will be extinguished for a short time. I don't want anything that makes me happy, I delay my needs to have pleasure times, and I will fulfill it if I'm depressed too much. This control spends no money and makes me comfort and relax. I'm more focused to myself to do what should I do for living happily.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

PANCA INDERA


 


 

Account    illumination


 

                OLEH: SOPHIA DEVI


 

Panca indera ialah: mata, telinga, hidung, lidah, kulit.

Selain dari lima indera itu manusia hidup di dunia menggunakan tiga badan: badan fisik dengan badan etherisnya; badan astral atau perasaan/emosi; badan mental atau pikiran bawah sadar. Ketiga badan ini disebut juga kepribadian atau personality. Personality berasal dari kata persona yang berarti topeng. Atman atau hati (sing - mandarin) tidak dapat bersinar keluar disebabkan personality atau topeng ini tidak harmonis.

Jadi, ketiga badan ini harus dapat bekerja sama dengan harmonis agar kita dapat menjalankan tugas hidup kita sehari-hari, hingga atman/hati atau Peletik Api Ilahi itu dapat bersinar keluar. Maka, kita sebagai manusia menggunakan panca inderanya ini demi berlangsungnya proses tersebut.

Marilah kita tinjau panca indera kita:


 

MATA untuk MELIHAT. Kita melihat segala sesuatu di depan mata kita, tapi biasanya kita kurang menelitinya, hingga samar-samar sepintas lalu hasil obyek yang kita lihat itu. Maka, kita memerlukan Perhatian Murni dalam melihat segala sesuatu.

Selain melihat/mengamati segala gerak-gerik hidup di seluruh jagad raya ini, sebaiknya pula disertai dengan perasaan keindahan, cinta kasih, pikiran murni, maka segala sesuatu akan berjalan dengan baik.

Contoh: seseorang yang berbakat seni atau berperasaan halus, jika melihat patung orang yang telanjang bulat, akan mengatakan "indah"; tapi sebaliknya orang yang berperasaan kasar atau berbudi rendah akan mengatakan patung itu "porno". Jadi, segala apa yang kita lihat ini, tergantung pada sifat-sifat getaran jiwa kita, apakah banyak yang halus atau banyak yang kasar sifatnya. Jadi ini relatif.

Maka setiap agama menganjurkan kita supaya melihat yang baik-baik saja, untuk memperhalus getaran - jiwa penglihatan kita. Lebih baik melihat sesuatu yang sedap dipandang mata, daripada yang tak bermoral itu. Dapat membeda-bedakan yang baik dari yang buruk, yang perlu dan yang tidak perlu, inilah yang disebut "Wiweka". Biasanya kita dengan cepatnya melihat kesalahan-kesalahan orang lain daripada kesalahan kita sendiri. Kita tangkas mengritik orang lain daripada mengritik diri sendiri.

Selain melihat keluar, sebaiknya kita melihat ke dalam BATIN kita masing-masing untuk menemukan sesuatu yang lebih agung, lebih kekal, lebih sempurna, dan lebih indah

.

TELINGA untuk MENDENGAR. Kita mendengar 1001 macam suara terus-menerus, baik yang halus atau yang kasar. Tinggal kita sekarang memilih suara mana yang akan kita perhatikan atau kita simak baik-baik. Biasanya kita tidak suka kesepian, maka kita menyetel tape compo. Jika tape compo itu suaranya kecil, kita menginginkan home theater seab suaranya lebih mantap, nyaring, dan enak kedengarannya seperti drum kosong dan bukannya kaleng kosong yang pecah suara musiknya.

Tapi anehnya, jika kita sudah punya home theater dan disetel musik yang merdu, kita biasanya tidak mempedulikannya lagi, kita asyik ngobrol atau melakukan hal lainnya hingga suara yang menderu-deru itu TIDAK DIDENGAR atau diikmati sama sekali.

Inilah kenyataan kita sehari-hari bahwa kita SUKA RAMAI-RAMAI dengan segala macam SUARA. Sebab itulah kita tidak dapat TENANG, tidak mau mendengarkan musik yang ada di dalam hati kita, atau nyanyian alam yang bergema di sekitar kita.

Mendengarkan orang-orang mengolok-olok atau bergosip tentang sesamanya, biasanya kita senang sekali. Padahal agama kita menganjurkan untuk tidak mengikuti kabar-kabar angin itu, sebab kita akan terlibat membantu mengacaukan suasana, baik disadari maupun tidak. Soal ini dapat kita pelajari dalam buku-buku spiritual.

Jadi, Wiweka juga diperlukan untuk memilah antara yang baik atau buruk untuk PENDENGARAN kita.


 

HIDUNG untuk MENCIUM atau BERNAFAS, juga penting diperhatikan. Hidung adalah alat untuk kita bernafas hingga HIDUP. Paru-paru yang bekerja secara otomatis sebenarnya menghisap hawa udara yang berisi oksigen dan PRANA (kekuatan hidup), untuk melangsungkan hidup badan fisik kita.

Maka tariklah nafas dalam-dalam, perlahan-lahan secara wajar hingga seluruh badan etheris atau badan fisik kita terisi prana atau zat kehidupan yang berasal dari sinar matahari .

Oleh filsafat yoga dikatakan, bahwa hidup manusia ini dihitung dengan nafasnya, jika orang yang bernafas dalam-dalam dan perlahan-lahan, maka dia akan panjang umur, sedangkan jika orang bernafas pendek-pendek tentu cepat matinya. Umpamanya orang yang sering marah-marah, hidup tidak tenang, dan lain-lain.

Maka dari itu, carilah udara yang sejuk dan segar. Di pegunungan lebih sehat hawanya daripada di kota-kota industri yang udaranya telah banyak tercemari polusi.

Minyak wangi yang lembut sedap aromanya, lebih baik daripada yang tajam menyengat baunya. Demikian untuk tujuan-tujuan ritual keagamaan, pembakaran dupa kayu gaharu/cendana lebih baik daripada kemenyan, sebab yang pertama itu menarik perhatian para dewa/bidadari dari alam kebahagiaan dan yang belakangan ini menarik perhatian makhluk-makhluk halus tingkat rendah dari alam penderitaan yang penampakannya menyedihkan dan menyeramkan.


 

LIDAH di rongga mulut untuk merasakan dan mengkonsumsi MAKANAN/MINUMAN dan untuk berBICARA. Jika kita meninjau mereka yang menjalani hidup total untuk spiritual, pada tingkat-tingkat permulaan sangat dianjurkan untuk makan berbagai sayuran, buah-buahan, dan kacang-kacangan. Itu semua diperlukan demi memperhalus getaran-getaran badannya tersebut, hingga menjadi sensitif dan aman.

Ada pepatah yang mengatakan demikian: "periksalah sebelumnya apa yang akan dimasukkan dalam mulutmu, dan waktunya keluar besok pagi tidak perlu diperiksakan." Artinya, bilamana kita sembarangan saja makan dan minum, maka tentu kita akan sakit. Dan kotoran kita perlu diperiksa oleh dokter untuk mendiagnosa penyakit dan pengobatannya.

Dengan kata lain kita harus menjaga makanan dan minuman kita agar selalu bersih dan sehat.

Jika mulut kita berbau busuk, biasanya disebabkan makanan yang kita konsumsi kurang tercerna dengan baik atau daging yang membusuk dalam saluran pencernaan kita, atau ada gigi kita yang berlubang dan perlu segera diperiksakan ke dokter gigi.

Selain itu, minum minuman keras beralkohol tinggi secara berlebihan bukan saja merusak badan fisik kita terutama otak, lever, dan jantung, tetapi juga badan rangkap etheris kita juga ikut rusak.

Maka, di dalam agama dan aliran-aliran kebatinan dilarang keras mengkonsumsi alkohol atau rokok dan sejenisnya, sebab itu semua menghalang-halangi kemajuan hidup spiritual.

Jika kita sudah memelihara rongga mulut kita dengan kebersihannya, maka mau tidak mau semua yang kita ucapkan itu juga akan terpengaruh kemurniannya. Dinyatakan dalam semboyan wartawan:"Bahwa ujung pena (wartawan) lebih tajam daripada pedang". Tetapi Sang Budha mengatakan:"Bahwa ujung lidah adalah yang paling tajam dari segalanya."

Oleh karena lidah tak bertulang itulah dunia ini menjadi kacau. Misalnya dalam hidup berkeluarga, suami istri, orangtua dan anak-anak, tetangga atau kenalan, dan lingkungan masyarakat di mana kita hidup.

Semua kekacauan terjadi yang disebabkan oleh sang lidah tak bertulang yang telah mengucapkan kata-kata kasar, gossip, menyinggung, menghina, membumbui/menambah-nambahi, dan lain-lain sebagainya.

Diceritakan bahwa lidah kita yang tak bertulang itu saking lihai dan berbahayanya, maka dikurung rapat oleh 32 biji gigi kita. Maka dari itu kalau kita ingin marah-marah, hitunglah sampai 32 kali dulu, tentu kita tidak jadi menyemburkan kata-kata yang "berapi" dan membakar emosi yang mendengaarnya (boleh coba dan uktikan sendiri).

Menurut salah satu buku dikatakan: "Janganlah bicara yang tak perlu, bila perlu dan berguna untuk dikatakan, katakanlah dengan ramah tamah." Dan sewaktu-waktu kita juga perlu melatih diri untuk "DIAM" atau tidak bicara (mauna) selama beberapa jam sehari. Ini latihan untuk menenteramkan pikiran/perasaan/badan fisik kita dan juga untuk menyimpan kekuatan hidup (prana) kita supaya tidak dihabur-hamburkan dengan sia-sia.


 

KULIT untuk MENYENTUH atau MERABA. Kulit badan kita juga perlu diperhatikan kebersihannya, yaitu dengan mandi dua kali sehari supaya lubang pori-pori tidak tertutup, sehingga keringat dan udara dapat menyegarkan kita. Sentuhan kulit berhuungan rapat sekali dengan urat saraf yang berpusat pada pangkal otak dan juga pada badan etheris sebagai jembatan ke badan astral/perasaan kita.

Jika perasaan kita sudah halus, maka saat kita duduk berdekatan dengan orang lain, belum sampai kulit kita menyentuh kulitnya, sudah terasa sesuatu yang jelas, misalnya: panas/dinginnya temperamen seseorang yang berada di dekat kita.

Ada orang yang senang berdekatan, ada lagi yang mrasa gelisah disebabkan percampuran badan astral atau auranya itu dengan badan lainnya yang tidak sama getarannya, hingga saling mempengaruhi satu sama lain.

Aura ialah sinar dari kekuatan magnetis pribadi seseorang, jadi ukannya badan astral. Dikatakan bahwa orang yang sudah waspada dapat melihat orang yang tidak sehat (sakit), bahwa sinar auranya lemah seperti bulu kucing yang kena air.

Dalam pemersihan kulit badan fisik ini, perlu juga diperhatikan anjuran para occultist, bahwa kotoran kuku-kuku baik di tangan maupun di kaki harus dibersihkan, sebab kita semua selalu memancarkan kekuatan magnetis – badan kita lebih banyak melalui jari jemari tangan dan jari-jari kaki kita.

Bilamana kita tidak membersihkan kuku-kuku kita yang kotor itu, secara tidak sadar kita akan memancarkan/mengeluarkan pengaruh-pengaruh yang tidak sehat ke dalam alam etheris di sekeliling kita.

Duduk sambil menggoyang-goyangkan kaki kita, juga tidak dianjurkan oleh para yogi, sebab kita selalu menghambur-hamburkan kekuatan hidup (prana) kita secara sia-sia.


 

Kesimpulannya: Panca Indera kita harus dipelihara sebaik-baiknya dan dipertajam serta dimurnikan, sebab inilah yang menjadikan atau merupakan kunci untuk kita menginjakkan kaki kita ke dalam Dunia Kebatinan.

Alat-alat inilah yang menjadikan sumber daripada karma baik atau karma buruk yang akan kita petik kelak di kemudian hari.

Selain lima alat ini dan badan fisik, PERASAAN dan PIKIRAN juga memegang peranan penting. Maka kita semua diminta dan ditunjukkan jalan untuk menguasai ketiga badan –badan itu.

Perbuatan mungkin dapat dengan mudah dikuasai, tapi yang agak sukar ialah perkataan yang sering keterlaluan dikeluarkannya. Tapi yang paling sukar ialah pikiran. Sebab perbuatan dapat kita lihat dengan nyata, tapi perkataan agak sukar diketahui sebab diucapkan dengan bisik-bisik atau diucapkan dalam hati. Tetapi yang paling sukar dari segalanya, ialah pikiran yang tak dapat terlihat itu, dan yang cepat datang perginya; meloncat-loncat seperti kera kata Swami Vivekananda. Para bhikkhu dan para yogi semuanya berusaha keras untuk menaklukkan pikiran yang tak dapat dipegang itu, seperti angin saja.

Dalam filsafat Zen, sang pikiran itu adalah bagaikan cermin yang kosong. Yang disebut pikiran itu ialah pantulan obyek benda-benda duniawi ini hingga merupakan geraknya/gelombangnya pikiran itu sendiri. Padahal dasarnya sang KOSONG itu sendiri yang disebut Dharma Kaya atau Tao.

Marilah kita semua berusaha sedikit demi sedikit untuk menaklukkan sang pikiran itu, hingga kemenangan terakhir akan ada pada kita semua. Siapa yang dapat menguasai pikirannya, dapat juga menguasai dunia dan akhirat. Sadhu!


 


Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.8 tahun ke I (1970)


 


 


 


 


 

MENGAPA ORANG MENDAPAT TEKANAN BATIN?


 


 

Account    illumination


 

Tekanan batin merupakan semacam penyakit yang tidak ringan.

Orang yang mendapat tekanan batin, dia sakit. Maka dinamakan penyakit tekanan batin.

Tekanan batin menyebabkan pikiran seseorang kacau, bingung, tidak karuan arahnya. Lalu perilaku, tindakan, atau perbuatan orang itu tidak normal. Itulah yang menyebabkan orang lain menganggapnya sebagai orang "strip" atau dalam bahasa Hokkian dikatakan "poa gong".

Adapun berat atau ringannya penyakit tekanan batin itu bergantung dengan kadar kekacauan yang dideritanya.

Tekanan batin serupa dengan penyakit urat syaraf. Dokter yang meyakinkannya dapat menjelaskan lebih banyak.

Di sini penulis hanya akan membicarakan tekanan batin dari sudut kebatinan.

Pertama-tama marilah kita mencari tahu, kenapa orang mendapat tekanan batin?

Apakah karena dia miskin, kurang uang?

Jika kita benar-benar menyelidikinya, bukan itu sebabnya. Di dunia ada banyak orang miskin dan kekurangan uang, tetapi beberapa di antara mereka saja yang mendapat penyakit yang tidak normal itu.

Orang yang sudah mapan dan kaya raya, di antaranya ada juga yang menjadi linglung, sinting, atau abnormal. Inilah yang menandakan uang tidak membuat orang abnormal.

Atau karena kebodohan, sehingga dia mendapat penyakit tekanan batin?

Itu juga bukan. Di dunia ada banyak orang bodoh, dan mereka tidak semuanya gila. Bodoh tinggal bodoh. Masalah edan lain lagi. Bahkan mereka sanggup menjalani cara hidup yang sembarangan tanpa banyak penolakan seperti saudara-saudaranya yang cerdas dan intelek.

Orang-orang yang intelek dan ber-IQ tinggi, di antaranya ada yang lebih berbahaya bila tidak mengerti jalannya hidup yang lebih mendalam. Maka pengertian kebatinan adalah penting bagi setiap orang, terutama yang jenius.

Apakah orang yang mendapat tekanan batin itu disebabkan rongrongan, godaan, dan sebagainya?

Tidak juga. Bila kita telusuri dalam-dalam, kejadian-kejadian dari luar bukan menjadi biangnya orang mendapat tekanan batin sehingga menyebabkan penyakitnya.

Apakah karena orang itu lemah, lalu dihina, dinista, ditindas oleh pihak yang kuat dan berkuasa, hingga menjadi sakit batinnya?

Itu juga tidak menjadi biang keladi ketidakwarasan yang disebabkan tekanan batin yang didapatkannya.

Yang jelas menjadi pangkalnya tekanan batin yaitu si 'aku' menghendaki sesuatu, namun tidak tercapai. Tapi si 'aku' terus terikat dengan keinginannya itu. Si 'aku' tidak dapat melepaskan keinginannya tadi, itulah menimbulkan pertentangan yang hebat sekali di dalam batin. Akibatnya batin menjadi gelisah, kalut, marah, gusar, dan sebagainya.

Kita dapat membayangkan sendiri, bagaimana perkembangan orang yang mengalami pertentangan dan kekalutan batin secara demikian?

Sudah tentu ia menjadi abnormal. Mulai dari pikirannya, lalu perbuatannya, termasuk juga percakapannya jadi ngaco tidak karuan.

Dia yang berbuat demikian tidak sadar – meskipun dia berkata bahwa dia sadar.

Sebab, apabila dia sadar, dia tidak berbuat demikian, mengacau dan berbicara sembarangan, seolah-olah dia tahu segala pekerjaan Tuhan.

Kepada siapa saja dia merasa benci, entah melanggar perintahnya, entah tidak menuruti keinginannya, lalu dijadikan sasarannya. Dia memaki-maki, mengutuk, mengumpat, menghujat, mengatakan di luar kesopanan manusia yang normal.

Jadi jelaslah bahwa si 'aku' sangat berpengaruh besar pada orang itu, yang menimbulkan kelakuan-kelakuan aneh, perbuatan-perbuatan yang abnormal, karena ia tidak dapat lepas dari keterikatan keinginannya yang tak tercapai.

Orang yang menginginkan sesuatu, walaupun keinginannya besar, tapi kalau dia tidak terikat secara "mati-matian" tidak akan mengalami sakit bila gagal.

Dan banyak orang yang gagal dengan usahanya tidak mendapat tekanan batin, sebab mereka tidak terikat begitu keras. Si 'aku' tidak berpengaruh sedemikian hebatnya.

Maka yang harus dimengerti adalah si 'aku' ini. Si pikiran yang membesar-besarkan dirinya sendiri, mau menang sendiri, minta dipandang unggul sendiri,- itulah yang membuat dirinya terkekang., pikiran dan hatinya bertentangan, batinnya kacau, perasaannya gelisah, akhirnya menjadikannya susah, menderita, yang akibatnya menjadi penyakit tekanan batin.

Bagaimana supaya kita tidak mendapat tekanan batin? Dia harus tidak terikat dengan segala sesuatu. Pikirannya harus bebas, bersih dari kepercayaan-kepercayaan yang tidak masuk akal, lepas dari khayalan atau ilusi. Dengan singkat, si 'aku' harus dimengerti, sebab si 'aku' inilah yang membuat permintaan yang bermacam-macam rupanya.

Orang yang 'aku'-nya begitu besar, mempengaruhi seluruh hidupnya tanpa sadar. Tapi dia mengakunya sadar.

Si 'aku' tidak mau dikalahkan. Si 'aku' minta diunggulkan, dijunjung tinggi, dan dipuji-puji.

Jika si 'aku' disinggung, dengan segera terjadilah keributan, percekcokan, dan perlawanan.

Di situlah sukarnya kita berhadapan dengan si 'aku'. Keadaan hidup yang demikian ini tidak akan berhenti, tidak akan berubah, tidak akan berganti, - apabila kita tidak dapat mengerti diri kita sendiri. Hanya kalau pengertian itu datang, ada pada kita, barulah kesadaran yang sejati membukakan "belenggu" kita dan di situlah peranan si 'aku' berhenti.

Apakah yang mengganti jika si 'aku' sudah tidak ada dalam diri kita? Kasih yang ada. Kasih itulah hidup manusia yang sejati.

Dengan kasih setiap orang hidupnya lapang, bersih, tidak terikat dan tidak terkekang dengan apapun. Orang yang begitu adalah orang yang bebas.

Dan jika kita dapat hidup bebas, kita senang, gembira ria, tenang tenteram, berpandangan luas, tidak akan ada tekanan batin yang mengganggu kita.

Maka marilah kita semua mengarahkan hidup kita kepada hidup yang bebas.

Jangan sampai kita diperbudak sifat 'aku'. Jangan kita lupa dan memupuk si 'aku'. Jangan sampai kita menuruti keinginan si 'aku' yang hanya mau mengenakkan dirinya sendiri, namun melepaskan hubungan baik dengan sesamanya.

Ingatlah baik-baik, kita tidak hidup menyendiri. Hidup kita yang nyata ialah baik dengan semua makhluk hidup.

Orang yang pandai bukan untuk dirinya sendiri, melajnkan untuk hubungan baik dengan yang lain. Dan itulah sifat kasih. Kasih itu kewajaran manusia, kasih itu kehendak Tuhan Yang Maha Esa.

Jika orang menyadarinya, maka tekanan batin tidak ada. Lalu hidupnya senang, tenteram, bersih, dan segar.

Semoga setiap orang suka mengerti hal itu, dan tidak terganggu dengan tekanan batin bercorak apapun.


 

Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.10 tahun ke I (1970)

MENGAPA ORANG SELALU MINTA SELAMAT?


 


 

Account    illumination


 

Orang yang minta itu sebenarnya orang yang tidak punya. Perlu pakai, namun tidak punya, maka orang itu minta.

Di waktu masih anak-anak yang diminta barang mainan. Sebab dia girang, dia senang dengan barang mainan itu. Jadi yang senang baginya, dia minta. Yang tidak menyenangkan dia tidak minta.

Di waktu dewasa yang diminta orang berbeda lagi. Macam permintaannya bahkan banyak. Malah minta yang satu belum mendapat, minta yang lain. Yang lain itu pun belum tercapai, sudah minta pula yang lain lagi. Begitu seterusnya: minta, minta, dan minta.

Di antara permintaan-permintaan itu yang paling laris ialah uang.

Orang di sana dan di sini minta uang, minta kekayaan, minta selalu ditambah harta bendanya.

Minta rejeki, minta untung besar, minta kekayaan yang berlimpah-limpah.

Di samping uang ada lagi yang juga menduduki tempat yang tertinggi, yaitu: S E L AM A T

Bukan main orang menggandrungi minta selamat.

Dari orang di timur, di barat, di selatan, dan di utara semua minta selamat dan selamat.

Orang yang sudah di istana masih minta selamat. Apalagi orang yang tinggal di gubuk di tengah sawah. Malah jika dibanding, yang tinggal di sawah agak kurang permintaan selamatnya daripada yang sudah dikawal di gedung yang gemilang seperti istana itu.

Yang miskin minta selamat, yang kaya raya juga masih minta selamat.

Yang sakit-sakitan minta selamat, yang segar bugar juga minta selamat.

Pendek kata, orang-orang itu amat sangat membutuhkan selamat.

Marilah kini masing-masing menanyakankepada diri sendiri, mengapa orang selalu minta selamat?

Jangan katakan akan menjalani operasi (pembedahan) badannya, sedangkan akan pergi ke luar kota saja lebih dahulu minta selamat.

Mau cabut gigi minta selamat. Mau merekrut pegawai minta selamat. Mau berdagang minta selamat. Mau pindah rumah minta selamat. Mau berhubungan bisnis dengan siapa saja minta selamat.

Apalagi mau menikah, mesti minta selamat. Mau mendirikan bangunan, sampai mau memindahkan kandang sapi juga minta selamat.

Dalam salah satu ujian mengambil SIM malah ditanya suatu pertanyaan begini:

"Apakah pesan istri atau suami anda apabila anda hendak pergi ke luar kota dengan kendaraan anda?"

(Kalau belum punya istri atau suami diganti ibu atau bapak anda)

Karuan pertanyaan itu kalau berbunyi:

"Dari Malang ke Surabaya jalan mana yang paling selamat?"

Nah, itu menunjukkan betapa keselamatan itu dipentingkan orang.

Pria, wanita, tua, muda, yang tinggi, yang pendek, yang gemuk, yang kurus,- semua minta selamat, selamat, dan selamat.

Memang tidak salah, selamat itu dibutuhkan oleh semua orang. Cuma yang satu ini ada yang lebih kebacut daripada yang lain.

Andaikata ada "Dewa" yang menjual kartu "Selamat", tiap orang yang membawanya ke mana-mana mendapat selamat, pasti akan lebih laris daripada menjual undian berhadiah atau apa saja.

Setelah kita mengenangkan semuanya itu, marilah kita selidiki agak mendalam: Apakah sebenarnya selamat itu?

Istilah "selamat" ini berasal dari kata "salaam" atau "shalom" (Ibrani). Salam berarti batinnya tenang (inner peace).

Jadi orang yang selamat itu adalah orang yang batinnya tenang.

Orang yang batinnya gelisah, tentu tidak merasakan selamat.

Orang biar berapa saja kekayaannya kalau batinnya gelisah, dia tidak selamat. Tidak merasa mempunyai keselamatan, walaupun dia bebas dari kecelakaan.

Rockefeller- raja minyak, yang harta bendanya berlimpah-limpah, masih perlu membuat villa di Miami, untuk dia seorang diri menyepi dengan kawalan yang ketat (sebab dia tidak mau dikunjungi siapapun), itu menunjukkan dalam dirinya belum mempunyai ketenangan yang wajar. Batinnya masih gelisah. Maka, dengan sendirinya, dia belum mempunyai selamat yang sebenarnya.

Dan banyak hartawan-hartawan yang lain, karena mereka tidak mempunyai ketenangan batin yang sesungguhnya, maka hatinya selalu mengandung kekhawatiran dan ketakutan.

Jadi selamat itu adalah tenang. Batin orang yang tenang, itulah keselamatan.

Kalau orang menyapa:"Selamat pagi!" Maksudnya yang benar ialah "milikilah ketenangan batin di pagi hari itu."

Demikian di waktu orang mengucapkan "selamat jalan", supaya di perjalanan itu mempunyai hati yang tenang.

Coba bagaimana kalau dalam perjalanan dengan bis atau kereta api membawa barang (koper pakaian dll) misalnya, dalam keadaan batin gelisah, apakah kopernyaitu tidak ketinggalan di bis atau gerbong waktu dia turun di terminal atau stasiun?

Kekecewaan orang yang justru batinnya gelisah. Oleh karena itu, sejak purbakala orang menjunjung ketenangan batin, yang dengan kata lain disebutnya: s e l a m a t.

Itulah sebabnya yang membuat orang selalu minta selamat.


 

Disadur dengan perubahan dari majalah TJAHAJA TRI-DHARMA no.7 tahun ke I (1970)

APAKAH TUHAN ITU?


 


 


 


"Quia de deo scire non possomus quid sit,
sed quid non sit, non possomus considerare de deo,
quomodo sit sed quomodo non sit."                                                                                                                      
 (Thomas Aquinas, Summa Theologica)


"Karena kita tidak dapat mengetahui apakah Tuhan itu,
dan kita hanya dapat mengetahui apakah yang bukan Tuhan,
dan kita hanya dapat membicarakan yang bukan Tuhan itu."                                                                               
(diterjemahkan Anthony de Mello,S.J.,AWARENESS)


 


"Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam asankhatam,
no cetam bhikkhave abhavisam abhutam akatam asankhatam,
nayidha jatassa bhutassa sankhatassa nissaranam pannayetha.
Yasma ca kho bhikkhave atthi sankhatassa nissaranam pannaya'ti."                                                                                                             
(Buddha Gautama, Sutta Pitaka, Udana VIII: 3)


"Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para Bhikkhu, apabila tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tidak akan mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu."                                                                                                                            
(diterjemahkan Cornelis Wowor,M.A.)


 


"Om Bhurbhuvah Svaha
                                                              
Tat Savitur – Varenyam
                                                         
Bhargo Devasya Dheemahi
                                                      
Dhiyo Yo Nah Prachodayat"                                                                                                                     
(Veda, Gayatri Mantra)


"Wahai Cahaya Ilahi Yang Menerangi Alam Semesta,
terangi pula pikiranku,
sehingga aku dapat memilah
mana tindakan yang tepat dan mana yang tidak tepat."                                                                                    
(Anand Krishna, Seni Memberdaya Diri 3, ATISHA)


 


"TAO yang dapat disuarakan
bukanlah TAO yang abadi.                                            
Nama yang dapat diungkapkan
bukanlah nama yang abadi.                                        
Tidak bernama adalah awal Surga dan Bumi.                                     
Yang bernama adalah ibu dari sepuluh ribu sesuatu.                                            
Renungkan ke-"tiada"-an
untuk melihat misterinya.                                                
Renungkan ke-"berada"-an
untuk melihat manifestasinya.                                         
Keduanya datang dari sumber yang sama
tetapi mempunyai nama yang berbeda.                         
Dari segala sesuatu yang dalam,
mereka adalah yang terdalam;                                     
Gerbang semua misteri                                                    
Kebajikan tertinggi bagaikan air,                                     
Menguntungkan sepuluh ribu tanpa berjuang.                                
Mengalir di tempat rendah yang ditolak manusia"                                                                                                    
(Lao Tzu, Tao Te Ching)                                                 
diterjemahkan Chin Ning Chu, The Asian Mind Games)


 

"
Hanyalah apabila tidak terdapat khayalan,
maka "apa adanya" adalah keramat.

Apabila tidak ada ilusi, maka "apa adanya" adalah Tuhan
atau nama lain apa pun yang bisa digunakan."                                                                     
(J. Krishnamurti, The Urgency of Change)


 


"Kita tidak perlu memperdebatkan mengenai suatu kata, karena "Tuhan" hanyalah suatu kata, suatu konsep. Seseorang tidak pernah berdebat mengenai realitas; kita hanya berdebat mengenai pendapat-pendapat, mengenai konsep-konsep, mengenai penilaian-penilaian. Lepaskan diri Anda dari konsep-konsep, lepaskan diri Anda dari pendapat-pendapat, lepaskan diri Anda dari prasangka-prasangka, lepaskan diri anda dari penilaian-penilaian, dan Anda akan melihat realitas yang sesungguhnya."                                                                                                     
(Anthony de Mello,S.J., AWARENESS)


 


Yang Benar selalu Ada.                                                        
 Yang tidak benar, tak pernah ada.                                            
 Para bijak menyadari Kebenaran Mutlak di balik kedua-duanya.


Yang melingkupi segala sesuatu,
Yang melingkupi Alam semesta ini,
hanya Ia yang tak pernah musnah             
karena memang tidak ada yang dapat memusnahkannya.


Ia yang tak termusnahkan itu pula yang menempati raga kita, badan kita yang sesaat ada, sesaat tidak ada.


Ia yang menganggapnya sebagai pembunuh dan ia yang menganggapNya terbunuh -                     kedua-duanya dungu, karena Dia tak pernah membunuh, juga tidak pernah terbunuh.

Dia tidak pernah lahir, Dia tadak pernah mati pula. Penciptaan dan pemusnahan tidak terjadi dalam DiriNya.        Tak terbataskan oleh kelahiran dan kematian, Kekal Abadi, Langgeng, dan Yang Selalu Ada - Dia tidak ikut musnah dengan raga.


Ia yang mengenal Dia, sebagai Yang Tak Termusnahkan, Abadi, Tak Terlahirkan dan Tak Berubah  bagaimana ia dapat membunuh seseorang dan bagaimana pula dapat menjadi sebab pembunuhan ?

Ibarat seseorang melepaskan pakaian lama dan memakai pakaian baru, begitu pula Dia menanggalkan badan yang lama dan memasuki badan yang baru.

Senjata tidak dapat membunuhNya, Api tidak dapat membakarNya, Air tidak dapat membasahiNya, dan Angin tidak dapat mengeringkanNya.

Dia tidak dapat dilukai ataupun dibakar.                                                    

Dia tidak dapat dibasahi atau dikeringkan.                                                 

Ketahuilah bahwa Dia Abadi AdaNya – Maha Ada, Tak tergoyahkan, Tak berubah.                         Dia berada untuk selama-lamanya.

Dia disebut Tidak Nyata (sehingga tidak dapat dirasakan oleh panca indera), tidak dapat dipikirkan dan tidak akan pernah berubah. Oleh karenanya, wahai Arjuna, jangan menangisiNya!                             

Seandainya kau anggap Dia berulang kali lahir dan mati, terus-menerus, tanpa henti, tetap juga wahai Arjuna, layaknya kau tidak menangisi Dia.

Ia yang mati harus mati, ia yang mati harus lahir. Jangan gelisah, karena hukum ini memang tak terelakkan.

Makhluk-makhluk yang kau lihat ini, wahai Arjuna, pada awal mulanya Tak-Nyata, pada masa pertengahan terasa Nyata, dan pada akhirnya menjadi Tak-Nyata lagi. Lantas, apa gunanya kau bersedih hati?

Ada yang terpesona oleh keajaibanNya,                                                    

Ada yang mengatakan betapa agungNya Dia,

Ada yang mendengar betapa ajaibNya Dia,

Namun tak seorang pun yang memahamiNya.

Dia yang menghuni badan kasar ini tidak akan pernah terbunuh.

Oleh karena itu, jangan gelisah!                                                                                 
(Anand Krishna, Bhagavad Gita bagi Orang Modern, SAMKHYA YOGA)


 

"hidup tanpa roh,kuasa tanpa alat, tanpa awal tanpa akhir, tak kenal siapa maka tak kenal jaman maupun perhentian, tak berarah tak bertempat, jauh tak terbatas dekat tak tersentuh, tak di luar tak di dalam, halus tak terpungut, besar tak teraba, bukan wanita bukan laki-laki, bukan siang bukan malam, tak bisa dikira."                                             
(masyarakat Jawa Tengah, gambaran tentang Pangeran)


 


 

Saya tidak akan menambahnya lagi dari opini-opini mayoritas yang Anda dan saya sudah biasa mendengarkannya dari mana-mana. Saya tidak bermaksud menantang atau menentang otoritas-otoritas lembaga religius tertentu, karena saya bermaksud mengungkapkan opini saya saja berdasarkan sumber-sumber yang cocok dengan hati nurani saya. Saya juga tidak bermaksud membenarkan opini saya ini, Anda sendiri yang bisa memahami dan menilainya.

Jika Anda masih bingung dengan yang saya maksud, maka saya menghimbau Anda untuk:


Jangan menerima sesuatu hanya karena wahyu                                            


Jangan menerima sesuatu hanya karena tradisi yang turun-temurun


Jangan menerima sesuatu atas dasar kabar angin


Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan kitab suci


Jangan menerima sesuatu hanya karena berdasarkan logika


Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar


Jangan menerima sesuatu hanya karena sesuai dengan gagasan


Jangan menerima sesuatu hanya karena kesaksian dari orang-orang yang dipercaya


Jangan menerima sesuatu hal karena itu disampaikan oleh pemuka-pemuka agama yang dihormati


Tetapi setelah diamati dan diperiksa dengan teliti,
ketika Anda temukan hal itu sesuai dengan pemahaman,
berguna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan semua orang,
maka terimalah dan laksanakan dalam hidup Anda.                                             


 

Kamis, 13 November 2008

BLOG VISION

BLOG VISION


 


 

Saya sering berangan-angan untuk hidup lebih nyaman, tanpa beban, tanpa kekhawatiran, selanjutnya saya merasa susah. Mengapa? Saya berpikir, kini saya masih belum dapat income, sedangkan lambat laun tabungan saya berkurang dan berkurang terus tanpa ada penambahan saldo. Apakah saya harus terus bekerja seperti dulu? Tidak! Bekerja seperti dulu, meskipun bisa menambah saldo tabungan, namun menguras energi dan waktu saya. Saya ingin mencurahkan perhatian saya pada hati saya, apa daya energinya terkuras, waktunya mepet, maka saya tidak bisa menuliskan ide-ide saya dengan lancar, rasanya di kepala saya betul-betul kosong. Selain itu, saya sendiri tidak berminat dan antusias dengan pekerjaan saya dulu, karena saya cuma menginginkan uangnya, tidak peduli saya sebaiknya bagaimana memperbaiki kinerja jadi pelanggan yang saya layani bisa memberi banyak order lagi. Saya tidak berminat , saya merasakan keterpaksaan untuk mencari order pada pelanggan. Walaupun saya sudah bekerja cukup lama, namun saya merasakan semakin susah saya bekerja, bukan hanya dipengaruhi situasi eksternal seperti persaingan dengan kompetitor atau krisis ekonomi, saya merasakan penghentian minat akan pekerjaan lama saya, karena saya tahu prospek pekerjaan itu ke depan masih dalam tanda tanya. Ada kemungkinan bisa sukses, tapi sukses seperti apa? Apakah saya nanti menangani bisnis berskala besar? Apakah saya tetap bertahan dalam pekerjaan saya dengan kondisi biasa-biasa saja seperti waktu mulai jalan dulu? Jika dua-duanya terjadi, itulah neraka dalam kehidupan saya.

Jika bisnis saya membesar, saya wajib mencurahkan banyak energi dan waktu, tentu saja sebagian besar hidup saya tersedot demi perkembangan bisnis saya itu. Apakah saya senang? Saya senang dengan jumlah uang yang bisa saya dapatkan, namun saya tidak senang dengan sisanya yang lain, karena semuanya pekerjaan yang sangat membosankan, berulang-ulang saya harus mengerjakannya. Saya juga tidak suka menghadapi masalah-masalah baru yang muncul akibat membesarnya bisnis saya, sebab penyelesaian masalah-masalah itu menyita semua waktu dan energi yang ingin saya pakai demi cita-cita saya sesungguhnya.

Jika bisnis saya stagnan, berarti saya hanya mengulang pengalaman saya sejak awal mula menekuni bisnis, jauh lebih membosankan, bahkan merugikan. Pengalaman setahun diulang lima, sepuluh, tiga puluh, lima puluh, atau seratus kali, tiada bedanya dengan tahanan seumur hidup di penjara. Kesenangan saya cuma mendapatkan uangnya yang lainnya adalah penderitaan. Bisnis stagnan sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan, tiap tahun inflasi bertambah, nilai kebutuhan barang dan jasa naik terus, nilai mata uang makin tergerus. Tiap tahun dilalui dengan resiko, dari penyakit, kecelakaan, bencana alam, kriminalitas, masalah keuangan, masalah keluarga, masalah kenyamanan, masalah kejiwaan, dan masalah-masalah lain yang mampu menghanguskan hasil kerja saya.

Maka saya memberanikan diri menghentikan pekerjaan saya, hidup dengan santai, namun tidak terbuai dengan kenyamanan.

Saya menulis, menyatakan ide-ide yang tidak biasa, supaya dengan ide-ide demikian saya mendapatkan asset yang seperti Robert Kiyosaki katakan menghasilkan banyak uang tanpa keterlibatan si pemilik di dalamnya, saya tambahkan, tidak tergantung dalam kondisi apapun, tetap berlanjut dalam jangka waktu yang sangat lama, dan dapat dirasakan manfaatnya oleh mereka yang hidup di masa depan.

Apakah saya sekarang tetap merasa susah? Masih, saya merasakan sedikit, kini saya merasa lebih banyak energi, gairah, dan lebih semangat unuk menulis dan menulis lebih baik lagi, saya merasakan cinta dalam hati saya untuk dibagikan kepada Anda sekalian, semoga ini ada manfaatnya, terima kasih.

Minggu, 09 November 2008

KETUHANAN YANG MAHA ESA = BELIEVE IN ONE GOD ?


 


 

Kebanyakan orang awam yang berpikir sederhana mengatakan terjemahan di atas pas, tapi sesungguhnya tidak mewakili semua keberagaman kebenaran yang diyakini bangsa Indonesia.

Menurut Oxford Pocket School Dictionary terbitan 2007, God didefinisikan: the creator of the universe in Christian, Jewish, and Muslim belief, atau god (awalan huruf kecil) didefinisikan: a male being that is worshipped.

Sedangkan bangsa Indonesia tidak hanya meyakini Islam & Nasrani saja, ada Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, kepercayaan turun-temurun dari leluhur suku-suku lokal, aliran-aliran kebatinan,& juga sinkretisme antara agama-agama & kepercayaan-kepercayaan tersebut. Pengikut-pengikutnya ada yang meyakini banyak dewa (gods) atau dewi (goddeses), roh-roh leluhur, arwah orang mati, makhluk gaib, sebagai tujuan doanya. Ada sebagian yang berkeyakinan bahwa perjuangan diri pribadi untuk membebaskan diri dari penderitaan & menjadi pribadi yang lebih baik tanpa bantuan God, gods, goddesses, atau makhluk-makhluk lainnya, berdasarkan pemahamannya yang lebih difokuskan pada manusia & hubungannya dengan mental spiritual, lingkungan sosial,& alam kehidupannya.

Fenomena keberagaman ini tidak akan pernah bisa diseragamkan oleh siapapun dengan hanya satu pemahaman yang diadopsi dari satu label agama yang dominan, ini akan menghancurkan bangsa itu sendiri & lembaga otoritas yang melabelkannya, karena penyeragaman menghentikan proses pertumbuhan & perkembangan masing-masing pribadi & lingkungan sosialnya secara alami. Hal ini bisa dibuktikan dengan fakta sejarah kemunduran bangsa-bangsa di Eropa di abad pertengahan yang gelap (the dark of middle ages) yang berlangsung 10 abad. Pada abad 5-15M, Gereja Katolik pra Reformasi menjadi lembaga yang paling berkuasa di atas raja-raja Eropa,& menjadi sumber kebenaran tertinggi bagi seluruh bangsa Eropa. Adanya pemikiran-pemikiran lain yang tidak sejalan dengan ajaran & peraturan Gereja dilarang berkembang, di masa ini terjadi banyak kekerasan & pembantaian orang-orang tak bersalah karena tuduhan sesat, bidaah,& kafir. Peradaban yang tinggi dari zaman Romawi dihancurkan bangsa-bangsa barbar yang picik, sehingga bangsa-bangsa Eropa berhenti dalam kemajuannya hampir di segala bidang. Kebodohan ini terus berlangsung & dijaga kaum penguasa & pimpinan Gereja demi kelangsungan pengaruh mereka untuk mempertahankan harta kekayaan & kekuasaan politik, orang-orang yang menemukan fenomena alam & hasilnya bertentangan dengan ajaran Gereja pada saat itu seperti Nicolaus Copernicus, Giordano Bruno, Galileo Galilei ditindas, dihukum seumur hidup atau dihukum mati. Kelompok Gereja Katolik akhirnya terpecah belah, separuh pendukungnya menjadi aliran-aliran lain karena berbeda pemahaman tentang ajaran Kristen yang berbaur dengan budaya Romawi berusaha dibakukan dengan bahasa Latin, perbedaan persepsi tentang ajaran & pengamalannya, praktek Gereja yang menindas & membunuh mereka yang berbeda pandangan, kemerosotan moral & tindakan korupsi para anggotanya,& pengaruh pembaharuan dari renaissance & aufklarung yang muncul akibat hubungan bangsa-bangsa Eropa dengan orang-orang Muslim pada masa kekhalifahan Cordoba di Spanyol, hingga masa perang Salib.

Di balik fenomena keberagaman itu, kita bisa memahami bahwa semuanya itu adalah sarana manusia untuk mencapai tujuan yang sangat mulia, yakni kebebasan mutlak manusia dari segala penderitaannya di dunia secara universal, ini juga berarti semua penjelasan sudah berakhir, karena hal ini sudah melampaui batasan-batasan pemikiran manusia biasa, ilusi-ilusi, & dogma-dogma yang menghalangi setiap pribadi untuk berproses menuju kebebasan tersebut. Maka, terjemahan yang mendekati maksud ini adalah "The One Transcendent Divinity".

Jika terjemahan ini menimbulkan ketidaksetujuan dari lembaga-lembaga keagamaan tertentu yang telah membakukan judul artikel ini (tentunya tanpa ? & pasti diakhiri ! ) sesuai dengan kitab sucinya, maka mereka sebaiknya menyadari keberatan dari lembaga-lembaga lain yang isi kitab sucinya tidak mungkin dipersamakan dengan miliknya. Jika siapa saja bersikukuh mengubah terjemahan tadi untuk praktisnya mudah dimengerti semua orang tanpa memahami realitas keberagaman, maka dia atau mereka seperti menceritakan indahnya pelangi kepada orang-orang buta.


 


 

TUHAN


 


 

Kebanyakan orang Indonesia anggap kata ini teragung & termulia, selalu disebut dalam doa & kitab suci beberapa agama,tertulis di Pancasila,sumber semua hukum di Indonesia,selalu diucap dalam sambutan seremonial,& dinyanyikan penyanyi-penyanyi di lagu-lagu popnya.

Di kehidupan sehari-hari, TUHAN sering disebut orang jika mereka ada problem, sedang sial,& diteriakkan jika takut, kaget, mengeluh,& menyesal. Mengapa? Ini hasil implan beberapa label agama yang menyatakan TUHAN sebagai pencipta & pelindung kehidupan.

Selanjutnya, beberapa oknum lembaga agama menggunakan TUHAN demi kepentingan duniawinya, antara lain: sumber finansial untuk nafkah & kemewahannya, status sosial tinggi, kekuasaan politik & ekonomi,& demi ideologi mendirikan negara baru sesuai dengan label agamanya.

Akibatnya konflik meledak, orang-orang bermusuhan hanya karena beda prinsip & label agama, grup yang labelnya kuat & banyak pengikutnya menindas & meniadakan grup-grup lain yang labelnya lemah atau tak berlabel & sedikit pendukung dengan segala cara kekerasan, intimidasi, politisasi, indoktrinasi, propaganda, publikasi, selebriti & manipulasi kebenaran untuk mencegah kiamat yang berarti tamatnya kepentingan duniawi oknum-oknum tadi.

Berbahayakah TUHAN itu sebenarnya? Tidak, itu kembali kepada tiap pribadi yang memahaminya bukan hanya menurut konsep label agama tertentu, melainkan melampaui batas-batas label-label agama yang bervariasi, menuju pemahaman diri sendiri yang unik, sederhana, harmonis,& transcendent .Unik karena tiap pribadi punya cara sendiri untuk memahaminya, sederhana berarti mudah & praktis memahaminya, harmonis berarti damai & tenang dengan pikiran-pikirannya sendiri, keluarga, teman-teman, orang lain, makhluk hidup lain,& lingkungan alamnya. Transcedent, melampaui kata-kata untuk menjelaskannya, karena pemahaman wajib dirasakan sendiri, seperti merasakan citarasa makanan lezat, tidak akan lezat jika tidak mencobanya langsung dengan lidah sendiri, ya nggak?

MENGAPA SAYA RAGU-RAGU MENIKAH DI INDONESIA?


 


 

Karena saya tidak akan bebas, pernikahan mengikat saya dengan pasangan sampai mati, berarti saya tidak bisa meninggalkannya saja kalau saya mengalami ketidakcocokan dengannya di kemudian hari.

Pernikahan bukan satu-satunya jalan untuk hidup bahagia. Beberapa orang lebih suka hidup menyendiri, tapi bukan berarti tidak mau bersosialisasi, melainkan lebih banyak privasi demi perkembangan dirinya sendiri.

Dalam pernikahan tidak ada jaminan untuk sukses. Jadi, jika pernikahan gagal, saya harus bersiap-siap kehilangan banyak uang & melepaskan aset-aset. Tidak ada asuransi yang mau membayar saya untuk kehilangan aset-aset jika pernikahan saya gagal.

Pernikahan yang sehat & bahagia bukan berarti kehidupan finansial yang sehat pula, karena banyak resiko yang akan muncul menguras uang, waktu, tenaga, & stamina baik dari dua orang pasangan itu sendiri, anak-anak yang dihasilkannya, juga para orangtuanya beserta sanak familinya. Resiko itu bisa berupa sakit yang parah, terbelit hutang, terlibat perkara hukum atau kriminal, atau kebiasaan konsumtif & suka pamer penampilan atau barang-barang super mewah, atau mentalitas bobrok yang tidak menghargai privasi, kepemilikan pribadi, & bisnis pribadi & mencampur adukkan kepentingan pribadi yang disamarkan sebagai kepentingan keluarga besar.

Pernikahan membosankan, karena prosesnya sama waktu kita masih bayi dulu, cuma kita berganti peran menjadi orangtua si bayi. Seterusnya sama saja waktu kita tumbuh dewasa & kita sendiri bertambah tua tidak bisa pensiun tenang tanpa diganggu atau mengganggu anak cucu. Tidak ada petualangan yang mengasyikkan atau permainan yang seru karena saya terbelit tanggung jawab dengan pernikahan atau keluarga saya.

Pernikahan jadi batu sandungan manakala saya hendak mengekspresikan diri sesuai dengan suara hati saya karena belum tentu pasangan saya, mertua saya, saudara ipar saya, anak-anak atau keponakan saya menyetujuinya. Ini juga menjadi sebab korupsi, kolusi, & nepotisme tumbuh subur di Indonesia.

Pernikahan bukan satu-satunya jalan resmi untuk menyalurkan hasrat seksual, karena banyak cara aman, efisien, & sehat yang di Indonesia ilegal, namun di negara-negara lain bisa diterima sepanjang affair itu tidak merugikan secara fisik, mental, finansial salah satu atau kedua pasangan.

Pernikahan di Indonesia secara tradisi kekeluargaan cenderung dianggap sama dengan peternakan yaitu menghasilkan anak atau keturunan sebagai indikator sukses, kadang- kadang anak mengganggu privasi pasangan.

Pernikahan bukan hanya menikahkan pria & wanita saja, pernikahan juga menikahkan dua keluarga asal pasangan itu. Tradisi ini juga berpihak pada keluarga asal pasangan yang ikut menentukan jodoh yang harus cocok dengan orangtua & mertua, saudara & ipar, mereka banyak terlibat dalam rumahtangga, melanggar privasi & mengintimidasi pasangan demi kepentingan pribadi atau sekeluarga. Jika saya tidak tegas, maka saya akan tertindas lahir-batin seumur hidup saya.

Pemerintah Indonesia melibatkan lembaga-lembaga keagamaan untuk melegalkan pernikahan di Indonesia dengan mewajibkan dua orang beragama & berkeyakinan sama untuk menikah. Hal ini melanggar hak asasi manusia, & sangat konyol, belum tentu dua insan saling mencintai berprinsip & beragama sama, & agama yang sama tidak menjamin pernikahan bakal bahagia 100% bagi yang menjalaninya jika target dari kebijakan pemerintah untuk mengurangi perceraian, karena perceraian lebih banyak terjadi akibat miskomunikasi antar pasangan, masalah finansial, & ketidaksiapan membentuk keluarga. Perceraian sendiri bukan hal buruk jika kedua insan tidak bisa hidup bersama lagi karena perbedaan visi & misi, kerugian fisik, mental, & finansial, masyarakat sebaiknya memandang dengan manusiawi akan keterbatasan dalam pemahaman &pemecahan masalah kedua insan tersebut & tidak menjadikannya sebagai sorotan publik & gossip yang tengik, serta memvonis mereka dengan anggapan miring. Tindakan itu akan semakin merusak privasi &mental mereka, & mengurangi mutu masyarakat itu sendiri sebab secara tidak sadar mengotori pikirannya dengan persepsi keliru, prasangka yang buruk, kebencian yang merasuk, & tidak berfungsinya kontrol diri sehingga mereka akan terjebak dalam kebodohan kolektif, karena dengan demikian mereka gagal memecahkan masalahnya sendiri & berputar-putar mengurusi hal yang tidak penting, akhirnya membuang waktunya yang tidak akan kembali lagi.


 

 

ShoutMix chat widget